Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 6: Azhar Nurun Ala

The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 6: Azhar Nurun Ala Kredit Foto: Instagram/Nurun Ala
Warta Ekonomi, Jakarta -

Minat baca di Indonesia menempati kelompok terbawah di antara negara-negara di dunia. UNESCO mengungkapkan, rasio minat baca di Tanah Air hanya 0,001%. Itu artinya, dari 1.000 orang di Indonesia, hanya ada 1 orang yang gemar membaca.

Akses terhadap bahan bacaan turut memicu rendahnya minat baca di Indonesia. Di Benua Eropa dan Amerika, akses bahan bacaan menembus angka 20 hingga 30 buku per orang setiap tahunnya. Sementara di Indonesia, rasio jumlah buku dan jumlah penduduk belum mencapai satu buku per orang setiap tahunnya.

Baca Juga: The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 5: Budi Setyarso

Selain karena akses bahan bacaan yang minim, rendahnya minat baca di Indonesia juga dipengaruhi oleh paparan teknologi, di mana saat ini gawai dan media sosial bisa dibilang adalah segalanya bagi masyarakat. Banyak hal yang bisa dilakukan masyarakat melalui media sosial, terutama dalam hal mencari hiburan. Setiap harinya, masyarakat sibuk berselancar di dunia maya hingga menyentuh buku untuk membaca pun menjadi ternomorduakan.

Padahal, kemampuan atau literasi membaca dibutuhkan dalam banyak aspek kehidupan, termasuk dalam proses kreatif seperti halnya menulis sebuah karya. Berangkat dari keresahan tersebut, Warta Ekonomi Group yang terdiri atas WartaEkonomi.co.id dan Herstory.co.id menggagas campaign #BacaSampaiTuntas untuk turut meningkatkan minat baca di Indonesia.

Melalui campaign #BacaSampaiTuntas, Warta Ekonomi Group mengajak masyarakat untuk membudayakan membaca secara tuntas setiap informasi dan bacaan yang diterima sehingga mendapat pemahaman yang utuh dan menyeluruh.

Sebagai bagian dari campaign #BacaSampaiTuntas, Warta Ekonomi Group melakukan bincang-bincang dengan penulis, Azhar Nurun Ala. Berikut ini merupakan hasil bincang-bincang jurnalis Warta Ekonomi Group Witri Nasuha bersama dengan Azhar Nurun Ala.

Apa kesibukan Mas Nurun Ala saat ini? Adakah karya baru yang sedang dipersiapkan atau belum lama dirilis?

Saya sebagai kepala keluarga pada umumnya lagi sibuk mengurusi anak dan pekerjaan rumah. Untuk kepenulisan sih seperti biasa lagi menggarap cerita baru dan belajar lagi banyak membaca. Mungkin juga menyiapkan judul lama untuk dicetak ulang.

Bicara mengenai buku, tentu berkaitan dengan aktivitas membaca. Menurut Mas Nurun Ala, bagaimana potret minat baca di Indonesia saat ini?

Berdasarkan data based on UNESCO, kondisi ini cukup memprihatinkan. Tapi mungkin ada kaitannya dengan akses terhadap bacaan. Misalnya, toko buku sebagai representasi pendistribusian buku di setiap daerah di Indonesia.

Di Jabodetabek sendiri toko buku tersebar luas di mana-mana. Tetapi di daerah sendiri misalnya di Lampung, hanya ada satu toko buku, tepatnya di Bandar Lampung. Untuk bisa mengaksesnya, dari rumah saya butuh waktu sekitar dua jam. Mungkin juga masih banyak provinsi yang belum tersedia toko buku secara meluas. Seiring perkembangan teknologi, ada banyak platform bermunculan seperti Wattpad, Tumblr, dan Storial.

Jika saya lihat, jumlah pembaca di Wattpad cukup banyak, ada sekian juta views. Jadi kalau saya lihat sendiri, seiring dengan mudahnya akses terhadap bacaan, minat baca masyarakat juga ikut tumbuh. Sebelum pandemi sendiri, muncul banyak penerbit baru yang datang dengan penulis-penulis baru. Jadi saya melihat ada pertumbuhan positif ke depannya untuk minat baca masyarakat Indonesia.

Tak bisa dimungkiri, minat baca negara kita terbilang rendah. Nah, apakah hal itu turut menjadi tantangan bagi Mas Nurun Ala sebagai seorang penulis?

Sebenarnya saya sudah terjun di dunia kepenulisan di tengah kondisi yang sudah seperti ini. Jadi ketika saya sudah terjun sebagai penulis sudah siap dengan tantangan yang ada. Tapi saya pikir seperti ini, dengan jumlah minat baca yang sudah ada, selama memang kita bisa menulis cerita yang menarik, dipasarkan dengan baik, bermakna dan relate dengan pembaca, maka akan tetap bisa menemukan pembaca. Itu yang saya kerjakan selama tujuh tahun belakangan.

Di era serba digital, masyarakat hampir tidak bisa lepas dari gawai, interaksi dengan buku secara fisik pun menjadi ternomorduakan, adaptasi seperti apa yang perlu dilakukan oleh seorang penulis sehingga karyanya juga bisa menyentuh mereka yang dekat dengan gawai?

Tulisan saya dikenal lewat gawai. Tahun 2010, saya mulai menulis blog dan Facebook. Kalau mungkin mereka tidak main internet, saya tidak mungkin bertemu dengan pembaca. Jika hari ini banyak yang menggunakan gawai untuk hiburan, tinggal bagaimana penulis seperti saya bisa menemukan cara mengemasnya supaya lebih menarik daripada konten-konten lainnya yang tersedia.

Kita masuk ke bagian tips nih untuk teman-teman yang mau mulai menulis karya. Menurut Mas Nurun Ala, apa yang harus dilakukan untuk memulai sebuah proses kreatif seperti halnya dalam menulis?

Pertama, temukan ide, dan sampai sekarang saya percaya jika ide yang baik adalah ide yang berangkat dari keresahan pribadi. Ketika sebuah ide datang dari keresahan, kita jadi punya semacam energi tambahan untuk bisa menyelesaikan karya tersebut. Misalnya, saya dulu menulis serial buku Maharani, ada tiga buku bertemakan pertanian.

Ide menulis buku tersebut lahir ketika saya sempat pulang ke kampung halaman dan berinteraksi dengan petani di sana, dengar mereka cerita tentang kondisi dan tantangan yang mereka hadapi, kebijakan yang menurut mereka tidak berpihak untuk mereka. Dari situlah kegelisahan petani menjadi kegelisahan saya juga.

Tetapi kita tidak bisa terlalu lugas dalam menyampaikan ide tersebut. Akhirnya dikemas dalam cerita roman tentang Salman yang ingin melamar teman masa kecilnya yang bernama Maharani.

Seberapa penting kemampuan dan keaktifan membaca seseorang dalam menulis sebuah karya? Sebab, dalam menulis fiksi sekalipun, tetap dibutuhkan pengetahuan dan data untuk pengembangan tulisan tersebut. Apakah membaca sebelum menulis juga bisa menjadi sumber inspirasi?

Tantangan dari menulis, khususnya fiksi itu adalah membuat cerita yang terasa nyata. Karena jika tidak nyata, orang-orang akan tidak percaya, maka tidak bisa mengikuti dan menjiwai cerita tersebut. Kalau bahasanya Lisa Kron, cerita yang baik adalah cerita yang bisa menganestesi bagian otak membaca yang sadar kalau itu hanyala bacaan fiksi.

Jadi bagaimana caranya agar cerita tersebut dapat membuat agar orang bisa lupa kalau itu hanya rekaan atau plot yang saya buat saja? Untuk membuat terasa nyata, dibutuhkan adanya riset. Proses riset ini membutuhkan waktu yang lama. Membaca dalam konteks ini bisa menjadi riset pustaka.

Selain itu, membaca bisa memperkaya gaya penulisan kita. Kita bisa mengeksplor berbagai gaya dan metode kepenulisan. Kira-kira seperti itu.

Kalau diibaratkan, korelasi membaca dan menulis karya itu bisa digambarkan seperti apa, ya, Mas? Dan apa bahayanya jika kita nekat menulis tapi kita sendiri nggak suka membaca?

Menurut saya, dorongan menulis itu karena adanya kebiasaan membaca. Jadi kaitannya ya agak susah ya kita menemukan penulis yang tidak suka membaca. Ini seperti orang yang tidak suka nonton film tapi ingin membuat film. Jadi itu sih mungkin.

Sepertinya bukan bahaya, tetapi tidak mungkin saja ada orang yang tidak suka membaca tapi bisa menulis. Ada kalanya orang mampu bercerita kepada orang lain. Tetapi untuk bisa membuat cerita yang menarik dan mudah dimengerti orang, saya kira satu-satunya cara adalah dengan membaca, karena dia bisa mempelajari bagaimana model tulisan yang baik.

Lantas, kemampuan membaca yang seperti apa sih yang dibutuhkan untuk menciptakan sebuah karya yang berkualitas? Membaca yang seadanya, membaca setengah-setengah, atau membaca secara tuntas dan mendalam?

Sebenarnya saya tidak tahu siapa yang punya otoritas untuk menentukan sebuah karya berkualitas atau tidak. Karena jika kaitannya dengan karya seni, terutama fiksi, setiap orang punya seleranya masing-masing. Itu tidak mencerminkan buku satu lebih berkualitas dari buku lainnya.

Membaca itu ada pengaruhnya, karena semakin sering membaca maka wawasannya semakin luas. Tetapi saya sebenarnya adalah tipe orang yang terkadang membaca tidak sampai tuntas. Jadi kalau saya beli buku yang pada awalnya menurut saya menarik, kemudian saya baca sekian bab dan ternyata membosankan, biasanya saya tinggalkan dan baca buku lain.

Dalam konteks fiksi mungkin tidak harus membaca sampai tuntas, tetapi perlu. Jadi tidak wajib tetapi perlu. Karena inti dari cerita itu sebenarnya adalah transformasi. Di awal cerita, tokoh A seperti ini, kemudian dia mengalami suatu perjalanan, menyelesaikan masalah, keluar dari zona nyaman, kemudian endingnya mengalami perubahan karakter.

Jadi, transformasi itu yang sebenarnya diinginkan penulis. Kalau kita tidak baca sampai tuntas, besar kemungkinan pesan penting jadi tidak sampai. 

Singkat saja sebagai penutup, menurut Mas Nurun Ala, apa pentingnya dan kenapa harus #BacaSampaiTuntas?

Jadi harus sih tidak karena tergantung bagaimana kita sebagai pembaca, tetapi itu perlu. Karena tadi inti dai cerita adalah transformasi. Pelajaran penting dari sebuah cerita bisa kita dapat setelah karakter ini bertransformasi, pada awalnya seperti apa, mengalami perjalanan seperti apa, dan di akhir hidupnya seperti apa.

Transformasi itu adalah pesan penting yang ingin disampaikan penulis. Jadi sayang sekali jika tidak baca sampai akhir, takutnya pesan tersebut tidak tersampaikan.

Terakhir, ada yang ingin disampaikan kepada penonton dan mungkin beberapa di antaranya juga merupakan pembaca karya-karya Mas Nurun Ala?

Jangan berhenti belajar dan membaca, ngobrol sama orang, datang ke tempat baru, dan lebih peka terhadap kondisi sekitar. Kalau kita terus menjaga kepekaan, ide-ide tersebut tidak akan berhenti bermunculan. Menulis juga ada beberapa metode yang bisa dipelajari. Salah satunya adalah metode tiga babak, ada setup, ada journey & conflict, ada resolution, dan lainnya.

Sebenarnya kalau kita bisa mempelajari teknik tersebut, 80 persen masalah kita dalam menulis dapat terselesaikan. Selanjutnya adalah perbanyak jam terbang saja. Jadikan menulis sebagai rutinitas, jangan lakukan untuk mengisi waktu luang saja.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Patrick Trusto Jati Wibowo
Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: