Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 5: Budi Setyarso

The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 5: Budi Setyarso Kredit Foto: Instagram/Budi Setyarso
Warta Ekonomi, Jakarta -

Budaya membaca menjadi fondasi dasar bagi pendidikan suatu bangsa. Tingginya budaya membaca dapat membuat seseorang lebih memahami dan menguasai suatu ilmu pengetahuan. Menjadi kegagalan tersendiri bagi suatu bangsa yang tak berhasil menciptakan sebuah generasi yang mengedepankan budaya membaca.

Budaya membaca di Indonesia sendiri terbilang masih memprihatinkan. Bahkan, Indonesia pernah menduduki peringkat kedua dari bawah soal literasi dunia. Dibandingkan negara-negara lain di dunia, tingkat literasi masyarakat Indonesia, baik kalangan anak-anak maupun orang dewasa, terpuruk di level terbawah.

Baca Juga: The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 4: Wisnu Nugroho

Bahkan, sudah banyak data-data tentang literasi yang menunjukkan minimnya minat membaca di Indonesia. Seperti penelitian yang dilakukan oleh PISA rilisan OECD (2015), Indonesia menduduki peringkat 62 dari 70 negara yang disurvei. UNESCO juga menyebut, Indonesia berada di urutan kedua dari bawah dalam hal literasi.

Namun, keadaan ini justru berbanding terbalik dengan keaktifan masyarakat Indonesia dalam menggunakan media sosial yang bisa disebut sangat tinggi. Timpangnya tingkat literasi membaca dengan keaktifan bermedia sosial menjadi salah alasan mengapa banyak masyarakat masih mudah termakan berita hoaks.

Berangkat dari gambaran tersebut, Warta Ekonomi Group yang terdiri atas WartaEkonomi.co.id dan HerStory.co.id mengisiasi sebuah gerakan #BacaSampaiTuntas untuk turut menggaungkan literasi di Indonesia.

Melalui gerakan #BacaSampaiTuntas, Warta Ekonomi Group mengajak masyarakat untuk membudayakan membaca informasi secara tuntas sehingga pemahaman yang diterima menjadi utuh dan menyeluruh. Dengan demikian, masyarakat diharapkan dapat membentengi diri dari informasi yang bersifat provokatif maupun informasi yang tidak benar.

Sebagai bagian dari campaign #BacaSampaiTuntas, Warta Ekonomi Group melakukan bincang-bincang dengan Pemimpin Redaksi Tempo, Budi Setyarso. Berikut ini merupakan hasil bincang-bincang jurnalis Warta Ekonomi Group Nada Saffana bersama dengan Budi Setyarso.

Bagaimana tanggapan Pak Budi terhadap kondisi literasi dan minat baca di Indonesia, yang terbilang masih sangat minim?

Memang perlu diakui kalau bekerja di media yang notabene harus banyak membaca, masih kurang membaca, entah mungkin karena ada kesibukan atau telah menemukan medium lain. Kalau di beberapa negara maju yang tingkat literasinya tinggi itu sebenarnya juga tidak datang serta-merta, karena telah dibiasakan dari kecil, misalnya saat sebelum mereka tidur. Jadi ada sistem yang membuat orang itu harus membaca sehingga tercipta kebiasaan-kebiasaan tersebut.

Mungkin sebagai ilustrasi saja ya, banyak turis internasional yang sedang tiduran di pantai sambil membaca buku. Mereka di pesawat juga membaca buku. Mungkin itu bukan ilustrasi yang tepat, tetapi masyarakat kita tidak banyak yang mengisi waktu luangnya dengan membaca. Apalagi di tengah perkembangan teknologi yang makin pesat.

Itu semua bukan menjadi hal-hal yang buruk karena saya rasa itu menjadi kebiasaan yang kita bisa bangun dengan sistem tertentu, misalnya sedari kecil, sehingga terbiasa membaca.

Berkaitan dengan tema saat ini, bisa dibilang banyak generasi masa kini "malas" untuk membaca. Menurut Pak Budi, faktor apa yang membuat generasi saat ini itu masih minim kesadarannya untuk membiasakan membaca?

Ya sebenarnya media itu tidak hidup di ruang hampa karena media itu hidup di masyarakat yang tidak serta merta menyediakan sesuatu yang mungkin bagi kita itu menarik. Namun, bagi banyak orang itu tidak menarik. Kita harus menyediakan satu platform khusus karena sebagian besar orang menerima informasi dari media sosial, kedua dari televisi, diikuti dengan media cetak dan radio.

Untuk menarik orang membaca tidak hanya menyediakan konten yang menarik, tetapi juga menyesuaikan dengan platformnya agar secara akses bisa dijangkau oleh orang banyak. Tentu media tradisional seperti buku atau harian cetak tetap penting bagi sebagian orang, tetapi kita menyadari bahwa habit masyarakat itu telah berubah.

Kemudian kita juga harus membuat konten yang benar-benar menarik agar orang tertarik untuk membaca. Membaca itu diawali dengan keingintahuan terhadap sesuatu. Dengan konten-konten yang menarik, kita bisa menggabungkannya dengan multimedia lainnya seperti video atau grafik interaktif. Ini bisa memancing rasa keingintahuan orang. Hal-hal seperti itulah yang harus kita sesuaikan agar kita sebagai media juga harus ikut berkembang sesuai zaman.

Menurut Pak Budi, apa saja sih sebenarnya yang dibutuhkan oleh generasi sekarang ini untuk meningkatkan minat membaca?

Mungkin kita bisa membiasakan orang-orang di sekeliling kita untuk bersifat lebih terbuka. Ada berbagai sudut pandang sehingga bagaimana cara kita untuk bisa lebih menghormati perspektif yang berbeda, menerima, dan saling bertukar pikiran. Itu salah satu yang bisa dilakukan. Atau bisa menemani anak membaca cerita sebelum tidur, kemudian didiskusikan. Kemudian di sekolah harus ada semacam pelajaran literasi yang membahas satu bacaan. Jika semua itu berhasil, kebiasaan membaca bisa dijalankan.

Mungkin kebenaran itu tidak 100% benar karena ada kebenaran lain yang bisa saja benar. Jika kita sadar akan hal itu, saya kira orang akan mencari tahu dengan membaca sebanyak-banyaknya dari sumber apa pun yang terpercaya. Saya tidak tahu apakah pendidikan formal zaman sekarang seperti itu atau hanya menyiapkan seseorang menjadi pribadi yang siap kerja saja, terutama di perguruan tinggi.

Jadi. tantangan bagi teman-teman yang bergerak di dunia pendidikan adalah bagaimana cara untuk membuat orang bersikap lebih terbuka. Sementara, bagi kita di media dapat membuat konten yang bisa dipertanggungjawabkan dengan informasi yang akurat, ditambah dengan memperkaya jenis-jenis kontennya.

Bagimana tanggapan Pak Budi melihat potret generasi saat ini yang bisa dibilang cerewet di sosial media, tapi sebenarnya malas membaca? Mereka hanya menyimpulkan suatu informasi, tanpa membaca dan memahaminya sampai tuntas.

Kondisi ini sebenarnya bisa dilihat dari seseroang yang sedang searching berita, kemudian menemukan headline yang menarik. Banyak dari mereka yang langsung berkomentar, tetapi tidak membaca isi beritanya itu apa. Hanya karena membaca judul, mereka langsung berkomentar dan tidak paham isi berita tersebut.

Namun, ini juga menjadi kesalahan kita sebagai media karena menggunakan clickbait. Misalnya saat Pemilu 2019, ada orang bernama Prabowo yang meninggal di tepi sungai, kemudian dijadikan judul berita "Prabowo meninggal di tepi sungai". Banyak orang yang langsung sensitif, padahal kan itu orang lain yang tidak ada hubungannya dengan politikus. Ini merupakan suatu clickbait.

Baca Juga: The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 3: Metta Dharmasaputra

Selain itu, juga jangan tergoda oleh SEO peringakat Google. Makin ramah penggunaan judul, makin bisa diklik oleh banyak orang. Itu penting, tetapi jangan sekadar membuat judul menarik, tetapi isinya tidak sama.

Menurut Pak Budi, apa sih akar dari rendahnya keinginan membaca generasi masa kini?

Sebenarnya tidak hanya generasi sekarang karena survei selama bertahun-tahun membuktikan jika Indonesia terus berada di urutan terbawah dalam hal literasi. Kalau kita lihat beberapa waktu lalu, survei yang dilakukan Perpustakaan Nasional menunjukan bahwa orang Indonesia rata-rata hanya membaca 2 sampai 3 buku dalam tiga bulan. Artinya, satu bulan itu rata-rata hanya satu.

Sekarang ini orang bisa mendapat informasi dengan cepat dari mana saja. Mungkin kebanyakan orang mendapatkan informasi terbaru bukan dari media seperti Tempo atau Warta Ekonomi, melainkan dari TikTok, Youtube, dan Instagram. Ini menjadi demokratisasi informasi yang mau tidak mau memang akhirnya membuat kita makin merasa tidak relevan dengan membaca buku. Kecuali, kita bisa memaksa mereka dengan konten-konten yang menarik sehingga memaksa mereka untuk lebih ingin tahu sehingga mereka akan mencari informasi lebih dalam.

Sekali lagi ini bukan hanya untuk generasi muda sekarang karena anak zaman sekarang itu lebih pintar karena mereka bisa menciptakan hal-hal yang luar biasa. Itu bisa mereka lakukan karena membaca, tetapi membaca yang lebih spesifik.

Mungkin ada di antara kita yang gemar menyimak, tapi malas membaca. Bisakah  itu disamakan artinya? Bagaimana tanggapan Pak Budi mengenai hal tersebut?

Kita tidak bisa memaksa orang membaca, entah karena kesibukannya, atau entah karena memang lebih nyaman melalui audio. Tidak heran mengapa saat ini lahir banyak platform baru seperti podcast yang memberikan kita informasi. Misalnya untuk Tempo sendiri, beritanya sudah bisa didengarkan melalui Spotify. Jadi karena ada yang membacakan, seseorang bisa mendengar informasi saat sedang di mobil dan tidak perlu membaca.

Saya tidak perlu mempermasalahkan apakah orang hanya mau menyimak dan tidak ingin membaca. Karena bagi saya, adalah setiap informasi yang disampaikan itu kredibel dan setiap orang yang menerima informasi tersebut harus terbuka terhadap kebenaran-kebenaran yang mungkin selama ini tidak mereka percayai atau yakini.

Kalau tadi Tempo menyediakan fitur berita yang dibacakan, apakah itu bisa menjadi validasi bahwa masyarakat ini lebih suka mendengar daripada membaca, Pak?

Mungkin iya karena kita menyediakan inti informasi tersebut. Kita paham bahwa banyak orang yang tidak punya waktu atau ingin multi-tasking, maka kita sediakan podcast. Podcast ini tetap ada teksnya. Ada juga untuk orang yang punya waktu melihat video juga kita sediakan konten berbentuk video berupa diskusi, tetapi kita tidak meninggalkan berita dalam bentuk cetak. Jadi kita ini bisa dibilang multichannel.

Namun, yang terpenting itu tidak mengurangi substansinya. Platform itu menyesuaikan dengan kebutuhan orang dan perkembangan teknologi kita. Walau habit membaca sudah mulai berubah, penjualan media cetak kita masih relatif stabil, ditambah ada habit pembaca baru melalui platform digital. Jadi kita sediakan informasi melalui segmen-segmen yang berbeda.

Munculnya banyak platform yang mengandalkan suara untuk menyampaikan informasi, nasib dan masa depan membaca akan bagaimana ya, Pak? 

Pembaca akan tetap bisa mendapatkan kebutuhannya. Saya kira banyak juga yang percaya pada titik tertentu, media cetak perlu dipertahankan, misalnya majalah. Kalau koran harian mungkin umurnya bisa lebih pendek. Karena koran harian itu cepat habis, sementara majalah itu bisa menyediakan satu cerita yang tidak bisa didapatkan di media cepat, mungkin mereka masih bisa bertahan. Jadi bentuknya seperti collectible item sehingga selain untuk dibaca, orang akan menyimpannya sebagai koleksi, contohnya majalah Forbes.

Apakah Tempo Online pernah tergoda memakai judul clickbait? Apa ada hukuman bagi jurnalis yang menggunakan judul clickbait?

Kami memiliki tim yang bekerja untuk menemukan berita-berita yang tidak sesuai dengan value Tempo, tidak hanya seputar judul saja, tetapi juga konten dan pemilihan angle-nya, termasuk soal diksi. Diksi ini sangat sensitif karena bisa menyinggung suatu pihak tertentu. Tim ini bisa melihat berita yang telah di-posting beserta link-nya sehingga bisa langsung dikoreksi. Kita tidak mengenakan hukuman, tetapi akan dicatat dalam penilaian.

Dengan adanya sistem ini, orang sendirinya akan tertanam untuk menggunakan judul yang sesuai dengan value dan menghindari clickbait. Kita juga mempunyai semacam Ombudsman yang meneliti kembali apakah berita ini menyalahi value kita atau tidak. Karena informasi yang bermutu itu merupakan harta yang berharga bagi banyak orang. Namun yang terpenting dapat membuat orang mengambil keputusan dalam suatu hal, seperti ekonomi atau politik. Jadi, sanksi atau penilaian ini menjadi hal yang kita terapkan kalau ada judul-judul yang kita anggap tidak sesuai dengan value Tempo.

Menurut Pak Budi, mengapa #BacaSampaiTuntas itu penting? Beri satu alasan

#BacaSampaiTuntas itu sangat diperlukan untuk memahami secara keseluruhan isi artikel atau isi tulisan. Jelas, pasti menjadi suatu hal yang benar jika seorang penulis pasti ingin tulisannya dibaca. Kalau ingin dibaca pasti dia menggunakan judul yang menarik. Tetapi perlu disadari kalau judulnya menarik, kita perlu membacanya sampai habis ke bawah. Selesai membaca pun kita harus melihat sudut pandang yang lain dengan membaca artikel lainnya. Ini merupakan hal yang harus kita lakukan.

Apa harapan Pak Budi terhadap peningkatan minta membaca di generasi muda saat ini?

Harapan saya, terutama bagi teman-teman yang bergerak di bidang media, kita harus menghindari penggunaan judul clickbait yang hanya menarik click saja atau hanya judul yang tidak mencerminkan isi karena kebiasaan orang hanya membaca judul itu sangat berbahaya. Mudah-mudahan kita bersama-sama memperbaiki karena kita bertanggung jawab kepada masyarakat untuk menyediakan informasi yang kredibel. Untuk masyarakat bisa dimulai dari mencoba berpikiran terbuka sehingga makin banyak persepektif yang diterima. Jangan bersikap terlalu parsial sehingga menutup kebenaran yang ada di tempat lain.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Patrick Trusto Jati Wibowo
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: