Giyatno menambahkan, digitalisasi sangat terkait jenjang pendidikan dan sumber daya manusia. Jika di kota mudah menemukan lulusan sarjana, di desanya rerata lulusan SD-SMP. Karenanya, harus terus diedukasi dan diajak untuk berubah kebiasaan.
"Kami sudah siapkan peranti kasir digital, iKas, sebanyak dua unit di Balkondes tapi tidak langsung bisa dioperasikan staff kami. Demikian pula dengan peralatan eLok. Jadi, harus sabar dan mau dampingi supaya lama-lama lancar menjalankan," jelasnya.
Adapun, Ketua BUMDes Desa Palasari, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, Nana Mulyana menambahkan, aplikasi SVN yakni simpeldesa juga membuka peluang penambahan pendapatan warga desa yang melakoni usaha mikro. Khususnya dalam penyedian jasa pembayaran mulai dari listrik, pulsa, dan lainnya.
Menurutnya, sejak menggunakan simpeldesa dua bulan lalu, transaksi harian dari Mitra BUMDes yakni warung kelontongan/warga yang membuka jasa pembayaran tersebut berada di kisaran 10 transaksi per hari dengan skema bagi hasil keuntungan 70% untuk mitra dan 30% untuk BUMDes.
"Selain pembayaran, kami juga sudah punya usaha sewa kursi lipat yang jumlahnya sudah mendekati 200 buah. Juga, menjadi mitra pemasok susu sapi perah ke KPSBU di Kecamatan Lembang dengan kepemilikan enam sapi dari BUMDes," ungkapnya.
Nana mengatakan, aplikasi simpeldesa dalam pemberdayaan ekonomi memang masih merintis. Akan tetapi, untuk layanan administrasi kependudukan, smart government, sudah sangat terasa manfaatnya bagi warga dengan 20% dari total 3.614 penduduk menggunakannya.
"Tinggal masalah merubah kebiasaan saja karena belum semua warga mau dan terbiasa menggunakan aplikasi digital. Menu yang ada juga harapannya bisa adopsi untuk usaha kursi lipat dan susu sapi perah, agar lebih meluas penggunaannya ke depan," katanya.
Sementara itu, CEO simpeldesa Reno Sundara mengatakan, sejak pertama diluncurkan September 2019, aplikasi terus menuai respon positif. Total pemerintah desa yang gunakan mendekati 300 lokasi, sehingga dirinya optimistis dengan target pengguna 1.000 desa pada tahun ini.
Inisiator lapangan sepakbola kaliber internasional di Desa Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat ini menilai dengan berbasis konsep digitalisasi pemberdayaan dan bagi hasil, simpeldesa pun makin berdampak setelah disokong program Telkom Smart Village Nusantara dari Divisi DxB (Digital neXt Business), DGS (Divisi Goverment Service), dan Witel se-Indonesia.
"Poinnya adalah aplikasi ini tidak membuat orang desa gigit jari. Kalau ada pembayaran-pembayaran, ada kas yang masuk ke desa dan nantinya balik ke warga berbentuk pembangunan. Itu baru dari sisi smart economy-nya saja, belum dengan manfaat smart goverment dan smart society," jelasnya.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik mencatat, dari 83.931 desa di Indonesia, 69.184 desa produsen sayur dan buah yang dibudiyakan (agrikultur), 20.032 desa memiliki lahan persawahan, 3.112 desa adalah pemasok perikanan, dan 336 desa adalah pemasok komoditas peternakan.
Seiring era medsos, selfie, dan wefie saat ini, 1.902 dari total desa tersebut adalah desa wisata. Kekayaan tiap desa demikian tinggi namun tak selalu seiring dengan kualitas kehidupan pada masyarakat pedesaan itu sendiri, sehingga digitalisasi menjadi kebutuhan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: