Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Petuah Hebat Bob Sadino: Seni Hidup Adalah Bagaimana Seseorang Bisa Menghargai Cukup

Petuah Hebat Bob Sadino: Seni Hidup Adalah Bagaimana Seseorang Bisa Menghargai Cukup Kredit Foto: MoneySmart
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengusaha legendaris Bob Sadino sejak dahulu dikenal sebagai pengusaha ayam dan telur. Perjalanannya sebagai wirausaha dimulai setelah Bob Sadino kembali dari Eropa dan masih bekerja untuk perusahaan asing, tetapi kemudian Bob memutuskan untuk tak melanjutkan pekerjaannya sebagai karyawan.

"Saya bilang kepada ibu (istrinya) besok saya gak mau bekerja. Itu adalah awal dari sebuh awal," ujarnya dalam wawancara yang disiarkan di YouTube tvOne bertajuk 'Perjalanan Sukses Bob Sadino | Apa dan Siapa Tokoh Indonesia tvOne'.

Meski istrinya tidak mengatakan sepatah katapun, namun Bob yakin itulah berkat kesuksesannya hingga akhir hayatnya. Bob pun berujar bahwa yang menangkap peluang saat itu adalah matanya.

Baca Juga: Kisah Bob Sadino, Pengusaha Legendaris yang Tidak Kuliah dan Pilih Belajar dari Jalanan

"Saya lihat telur di Indonesia berbeda dengan telur yang saya makan di Eropa," tuturnya.

Dari situlah Bob menulis surat bersama beberapa orang temannya kepada pembiak glider ayam di Belanda untuk membeli beberapa ekor ayam. Setelah ayam itu berhasil terproduksi 5 kg, produksi itu terlalu banyak untuk hanya dimakan berdua. Karena itulah Bob menjualnya.

Perlahan, Bob Sadino mulai merasakan manisnya keuntungan. Di awal tahun 1985, perusahaannya mampu menjual 40 ton daging segar, 60 ton daging olahan dan 100 ton sayuran segar perbulannya.

Awal bisnisnya dijalani dengan jerih payah. Bob beserta istrinya menjajakan telur dari pintu ke pintu.

"Saya jalan kaki, ibu bawa dua kilo ke kiri, saya bawa tiga kilo ke kanan. Saya ketuk pintu semua orang Indonesia, tapi seorangpun tidak ada yang mau beli telur," kenangnya.

Namun, ketika Bob mengetuk pintu orang asing, telur tersebut langsung dibeli. Orang-orang Indonesia saat itu masih belum mengerti. Kemudian, besoknya orang luar negeri ini bercerita kepada temannya sehingga orderan telur Bob Sadino pun semakin banyak.

Setelah itu, ayam petelur pun didatangkan kembali oleh Bob dari Belanda untuk menambah produksi. Bob menuturkan, pelanggannya lebih banyak orang asing daripada orang Indonesia. Sekalipun pelanggannya orang Indonesia, rata-rata pernah tinggal di luar negeri.

Kemudian, masukan-masukan pun datang, mulai dari garam, merica hingga produk olahan. Peluang-peluang itu dilibas habis oleh Bob Sadino hingga ia berhasil mendirikan pasar modern 'Kem Chicks'.

Sebagai pasar modern dengan metode swalayan, Kem Chicks pun menjadi buah bibir. Penampilan Bob yang santai dengan celana pendeknya juga menjadi promosi tersendiri. Tanpa susah payah beriklan, usaha swalayan Bob pun berhasil meraup untung. Kualitas produk dan pelayanan Kem Chicks menjadi yang utama dibandingkan dengan kompetitornya saat itu, Hero dan Gelael. Bob Sadino bahkan rela menyapa setiap tamu yang datang ke Kem Chicks.

Saat itu, bisnis Bob sangat kontras dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang rendah akan konsumsi protein. Swalayannya berdiri megah dengan peralatan dari Eropa dan barang-barang premium. Kem Chicks sendiri memiliki alasan untuk tidak agresif membuka cabang.

"Seni hidup ini adalah bagaimana seseorang bisa menghargai cukup. Enough is enough," ujar Bob Sadino. Bob sendiri hanya membuka dua cabang Kem Chicks yaitu di Kemang dan Pacific Place. 

Karena itu, investasi Bob Sadino pada bibit ayam boiler sangat berpengaruh pada perkembangan peternakan di Indonesia. Puncak perkembangan ternak ayam ini pun terjadi pada tahun 1996 dengan produksi 926 ribu ton dan produksi telur ayam 630 ribu ton. Ini juga diimbangi dengan meningkatkan konsumsi protein masyarakat di Indonesia.

Bahkan, setelah wabah Flu Burung merebak di Indonesia, penjualan ayam dan telur Bob Sadino di Kem Chicks justru meningkat karena kualitas yang terpercaya dan pelayanan yang baik.

Setelah itu, Bob mulai mengekspor sayuran ke Jepang karena kepuasan pelanggan akan sayuran yang dijualnya. Berawal dari ekspor 50 kg, hingga akhirnya menjadi jutaan kilogram. Ketika Jepang dilanda gempa, permintaan ekspor pun semakin banyak.

"Sifat bisnis agrobisnis ini bukan seperti industri lain yang bisa dipercepat atau diperlambat, ini akan ikut hukum alam," tandas Bob.

Meski bisnis ritel di Indonesia telah tumbuh pesat, namun Kem Chicks tidak mati karena mengkhususkan diri dalam bidang makanan. Bob belajar sendiri bagaimana pengolahan ayam dan telur yang awalnya makanan orang asing. Lalu, bagian-bagian daging sapi yang tak hanya 'lulur luar dan lulur dalam' tetapi ada banyak bagian yang bisa dimanfaatkan di dalam keraton-keraton sapi.

Pada tahun 1998, meski krisis tak membuat Bob bangkrut, namun Bob dihadapkan pada orang-orang asing yang hengkang. Sehingga, ia pun memutar otak untuk menjadikan orang Indonesia sebagai pelanggannya.

Jika awalnya 100% orang asing, Kem Chicks kini didominasi oleh 50% rakyat Indonesia. Bob jugalah yang mengenalkan Melon, Jagung Manis, Paprika dan Brokoli ke Indonesia.

"Tidak dikenal orang macam-macam jenis sayur Eropa dan jenis sayur Jepang," tandas Bob.

Pada tahun 1999, dua tahun paska krisis 1998, pemerintah mengeluarkan aturan makanan berlabel bahasa Indonesia untuk melindungi produk lokal. Kem Chicks yang awalnya banyak mengimpor, akhirnya turun drastis dan digantikan oleh produk lokal berkualitas baik. Karena itu, Kem Chicks mulai dilirik pembeli lokal yang ternyata lebih konsumtif dibandingkan dengan orang asing. Bahkan, produk super premium dengan harga selangit juga kerap dibeli konsumen lokal.

Meski demikian, Kem Chicks tetap menerima permintaan orang asing seperti bumbu khas Eropa dan daging kalkun masih tersedia. Bisnis makanan ini pun menjadi salah satu pilar penting bagi perkembangan ekonomi Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: