Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sektor Energi Sumbang Sepertiga Emisi Karbon di Indonesia

Sektor Energi Sumbang Sepertiga Emisi Karbon di Indonesia Kredit Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebutuhan target pengurangan emisi karbon dunia melalui Perjanjian Paris mengharuskan terjadi nett zero emisi pada 2050 mendatang. Indonesia pun telah meratifikasi Perjanjian Paris, merespons besarnya kontribusi emisi karbon yang berasal dari sektor kehutanan, energi, dan limbah serta menempatkan Indonesia di 10 besar negara penyumbang emisi karbon secara global.

Program Manager Energy Transformation, Institute for Essential Service Reform (IESR), Deon Arinaldo, menyebut, berdasarkan data yang dihimpunnya sejak 2000-2019, sektor energi menyumbang sebanyak 32,6 persen emisi karbon. Jumlah tersebut setara dengan sepertiga dari total emisi karbon yang dihasilkan.

Baca Juga: Dukung Transisi Energi, Kepala Bappenas Klaim RPJMN 2020-2024 sebagai RPJMN Hijau Pertama

"Nilai bauran ini terus bertambah dan hampir mengambil alih posisi sektor kehutanan dan lahan kalau dilihat lebih dalam. Sektor energi Indonesia ini didominasi oleh pembangkit listrik, yang tahun 2000 dulu share-nya 20 persen, sekarang 43 persen," ujarnya di Sesi Ketiga dalam Indonesia Energy Transition Dialogue 2021, Rabu (22/9/2021).

Deon mengungkapkan, hal tersebut sudah dimulai sejak tahun 2000 dengan pembangunan PLTU dalam skala besar untuk pembangkit tenaga listrik. Berdasarkan draf RUPTL, Deon mengatakan juga akan terdapat sebanyak 14 GW PLTU yang direncanakan dengan setidaknya menghasilkan emisi karbon sebanyak 100 juta ton.

Tahun 2021, kata Deon, emisi karbon yang dihasilkan dari sektor energi sebesar 230 juta ton. Berdasarkan RUPTL, emisi karbon diprediksikan terus mengalami kenaikan hingga 30 persen.

Karena itu, menurut Deon, dengan menggunakan parameter Value Adjusted LCOE atau parameter perbandingan harga teknologi, pembangunan teknologi pembangkit listrik EBT dinilai jauh lebih murah dengan estimasi pembangunan 1-2 tahun jika dibandingkan dengan biaya operasional PLTU 4-5 tahun.

"Kalau melihat dampak lainnya ketika kita membandingkan harga dan biaya karena biaya yang keluar, juga ada dampak lain yang perlu ditanggung," pungkasnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: