Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perilaku Nasabah, Kunci Utama Tekan Kejahatan Siber di Perbankan

Perilaku Nasabah, Kunci Utama Tekan Kejahatan Siber di Perbankan Kredit Foto: F5 Labs
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perkembangan digital yang begitu cepat tak hanya memudahkan nasabah industri perbankan, namun juga memicu peningkatan kejahatan siber (cyber crime). Maka dari itu perlu kewaspadaan ekstra untuk melindungi nasabah dari segala macam modus operandinya.

Sejak  Maret 2020 hingga saat ini, hampir 200.000 laporan fraud telah diterima Kemkominfo, di mana media yang paling banyak digunakan adalah Whatsapp serta Instagram. Statistik ini menunjukkananIndonesia sudah dalam situasi darurat kejahatan siber.

Selain itu, peningkatan transaksi online di e-commerce juga mendorong meningkatnya tindak kejahatan siber di sektor perbankan yang menjadi perhatian Kepolisian. Sepanjang tahun 2017 hingga 2020 tercatat ada 16.845 laporan tindak pidana penipuan siber yang masuk ke Direktorat Tindak Pidana Siber (Ditipidsiber) Polri. Baca Juga: Hati Hati! Penjahat Siber Manfaatkan Tren Squid Game Lewat Berbagai Situs Unik

Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha mengatakan, perkembangan kejahatan siber (cyber crime) juga membawa ancaman ke dunia perbankan. Oleh karena itu, perilaku dan kesadaran nasabah serta pegawai bank menjadi hal yang penting untuk mengurangi risiko kejahatan siber di perbankan.

Menurutnya, ada beberapa masalah terbesar yang dihadapi bank saat ini. Pertama adalah aplikasi pihak ketiga di smartphone dan tablet memungkinkan memiliki keamanan yang lemah jika dibuat oleh pengembang yang tidak berpengalaman. Kedua, kata dia, yaitu jaringan Wifi Publik yang merupakan salah satu cara mudah bagi peretas untuk mendapatkan akses dan data ke berbagai informasi akun yang tersimpan di smartphone.

"Ketiga, mobile malware seperti virus, trojan, rootkit dan lainnya. Ketika industri perbankan terus berkembang, begitu juga dengan malware,” ujarnya dalam diskusi virtual bertajuk 'Indonesia Darurat Kejahatan Siber: Bagaimana Perbankan Bersiap Sedia Untuk Menanggapi Serangan Siber?', Selasa (9/11/2021).

Perilaku dan kesadaran nasabah serta pegawai bank menjadi hal penting karena bank pada dasarnya perlu menemukan cara untuk melindungi nasabah serta pegawai dari diri mereka sendiri. Oleh karena itu, perbankan serta nasabah harus memahami dan mengenali apa saja bentuk penipuan digital yang marak terjadi untuk meminimalisir risiko kerugian bahkan menghindarinya. 

Sementara itu, Department Head Security Technologies and Services Q2 Technologies Henrico Perkasa mengungkapkan, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan setiap perusahaan ketika ingin mulai meningkatkan keamanan digital. Langkah pertama adalah memahami lingkup divisi yang ingin ditingkatkan keamanannya.

"Kemudian, kita lakukan penetapan kebijakan policy terhadap IT, konfigurasi diperangkat IT dan batasan apa saja yang perlu dipantau," paparnya. Baca Juga: Gegara Tranformasi Digital, Indonesia Darurat Kejahatan Siber

Pada poin ini, ia mengungkapkan, IBM Security QRadar menawarkan beberapa konfigurasi yang beragam dan siap digunakan oleh setiap peusahaan. Sehingga produk ini sesuai bagi mereka yang baru akan memulai memperkuat keamanan digital.

Untuk langkah ke depan, Q2 Technology menyarankan agar setiap perusahaan sudah memiliki incident response plan jika terjadi kejahatan siber. Selain itu, investasi pada teknologi automatisasi seperti machine learning dan artificial intelligence juga dibutuhkan agar tetap relevan di masa digital.

Dalam diskusi yang sama, Dept. Head Information Security Division PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BRI) Irfan Syukur menyatakan, ada lima kategori ancaman siber utama (cyber crime) dalam industri perbankan saat ini, yakni Mobile Devices, Digital Connectivity, Malware, Partnership dan API.

Pertama, jelas dia, Mobile Devices saat ini telah banyak dipergunakan seperti untuk sistem pembayaran dan lainnya. Meningkatnya jumlah dan jenis perangkat mobile dapat meningkatkan risiko serangan siber. 

“Kedua, Digital Connectivity atau konektivitas digital dari peningkatan eksposur data penting melalui adopsi sistem digital dan interkonektivitas,” tambahnya.

Ketiga, Malware, kecanggihan semakin mudah diakses dan otomatis melampaui kemampuan pertahanan saat ini. Keempat, API, penggunaan vendor pihak ketiga yang menimbulkan risiko di luar kendali langsung. “Dan kelima, kemitraan melalui konvergensi cyber komersial dan pemerintah,” ungkapnya. Baca Juga: Percepat Digitalisasi, OJK Luncurkan Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan

Selanjutnya, Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono pun mengungkapkan, investasi berkelanjutan atau Environmental, Social and Corporate Governance (ESG) menjadi salah satu isu penting bagi para investor asing yang ingin menanamkan modalnya. Setiap perbankan perlu menerapkan ESG dalam setiap aksi korporasinya.

Menurutnya, peningkatan keamanan data dan privasi, serta keamanan produk finansial adalah bagian dari ESG. IIamenilai penerapan investasi berkelanjutan dengan meningkatkan keamanan siber bisa jadi poin plus bagi setiap pelaku industri jasa keuangan.

"Beberapa catatan bagi perbankan adalah tidak saja ini (investasi keamanan siber) meminimalisir operational risk, tetapi juga meningkatkan nilai value dari ESG perbankan di mata investor, terutama pada mereka yang berinvestasi pada saham-saham perbankan," tukasnya.

Baca Juga: Tegas! Bule Inggris Eks Napi Narkoba Diusir dari Bali

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: