Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menangani Konflik saat Integrasi Pascamerger

Oleh: Dr Dayan Hakim NS, SE.AK.MM.CA.

Menangani Konflik saat Integrasi Pascamerger Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Merger, akuisisi, dan holdingisasi adalah istilah umum untuk menjelaskan mengenai konsolidasi perusahaan atau aset melalui berbagai jenis transaksi keuangan. Alasan melakukan merger, akuisisi, dan holdingisasi (M&A) adalah untuk membuat pertumbuhan anorganik dalam menciptakan nilai yang jauh lebih besar dibandingkan membangun sendiri dari tahun ke tahun. Pertambahan nilai ini bukan hanya dari sisi keuangan, melainkan juga dapat dari sisi brand, image, keunggulan persaingan, keunggulan pasar, keunggulan produk, keunggulan inovasi, dan keunggulan R&D.

Proses M&A dimulai dari keinginan manajemen dan pemegang saham untuk melakukan M&A dengan tujuan tertentu, diikuti dengan Due Diligence, penilaian, negosiasi, transaksi M&A, dan diikuti dengan Integrasi Pasca M&A. Banyak pelaku merger yang melupakan tahap Integrasi Pasca Merger sehingga tujuan merger yang diharapkan tidak tercapai.

Baca Juga: Ciptakan Ekosistem Hotel Tangguh, Artotel Group Akuisisi Dafam Hotels Management

Integrasi pasca merger (IPM) merupakan fase penting sekaligus paling kritis. Jika akuisisi baru berpotensi menciptakan value, integrasi menciptakan value yang sebenarnya. Integrasi pada hakikatnya menyatukan dua perusahaan menjadi satu "perusahaan baru" yang memiliki nilai lebih tinggi. IPM mensyaratkan orang-orang dari perusahaan yang merger untuk bekerja sama agar merger efektif dibutuhkan komitmen yang besar dari pengakuisisi maupun target.

IPM perlu memilih tipe integrasi yang tepat, lingkup elemen yang diintegrasikan, mengikuti tahapan secara benar, dan memahami tantangan yang bisa terjadi. Integrasi adalah proses interaktif di mana orang-orang dari dua organisasi harus bekerja sama. Manajemen tertinggi perusahaan pengakuisisi terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada tim manajemen perusahaan target, menerapkan standar, peraturan, dan ekspektasi mereka. Sering kali perusahaan pengakuisisi lebih dominan, cenderung membuat keputusan sepihak, memaksakan budaya sendiri, dan tidak memberikan otonomi kepada manajemen perusahaan target. Akibatnya, perusahaan target merasa dikuasai hingga berakibat pada konflik.

Konflik yang terjadi dalam proses manajemen rutin merupakan bagian yang umum dari kehidupan organisasi dan bila dapat diatasi dapat membuat organisasi makin bertumbuh. Akan tetapi, konflik yang timbul saat integrasi pascamerger merupakan titik kritis yang harus diantisipasi agar tujuan M&A dapat tercapai. Bila konflik tidak teratasi, perusahaan pascamerger akan memiliki risiko kehilangan SDM berbakat, terjadi ketidaksinkronan dalam operasional dan pemasaran yang akhirnya menurunkan kinerja keuangan perusahaan pascamerger.

Contoh kegagalan M&A adalah Bank Mandiri dan Bank Danamon, dua raksasa perbankan hasil merger BPPN saat krisis moneter tahun 1999. Kedua bank tersebut tiba-tiba menjadi raksasa dari segi aset dan kualitas kredit. Namun, tahap Integrasi Pasca Merger tidak ditangani dengan baik dan sampai sekarang masih tersisa bekasnya di mana pejabatnya hanya mengutamakan kelompok dari bank tempat dia berasal. Padahal, generasi milenial di bawahnya sama sekali tidak mengenal bank lama tempat si pejabat itu berasal. Sebentar saja kinerja keuangan Bank Mandiri dan Bank Danamon berhasil dilewati oleh Bank BCA dan Bank BRI baik dari segi pasar maupun citra. Satu generasi harus dihabisi agar Bank Mandiri dan Bank Danamon dapat memiliki budaya kerja yang baru hanya karena ketidakpedulian menangani tahap Integrasi Pasca-Merger.

Dari hasil pengamatan terhadap perilaku bisnis terkait integrasi pascamerger, akuisisi, dan holdingisai sedikitnya terdapat 5 konflik yang sering terjadi. Sebetulnya masih ada beberapa konflik lainnya, tetapi kurang signifikan dampaknya terhadap kinerja keuangan. Solusi yang dibahas dalam hal ini hanya bersifat usulan dan masih perlu penelitian lebih lanjut mengenai efektivitasnya.

Konflik pertama yang paling sering terjadi adalah kegagalan untuk memperbaiki fasilitas kerja yang kondusif. Perusahaan target berharap dengan adanya penggabungan usaha akan terjadi perubahan yang signifikan baik dari sisi fasilitas kerja, alat operasi, maupun kesejahteraan karyawan perusahaan target yang setidaknya menyamai kondisi yang ada di perusahaan peng-akuisisi. Namun ternyata, perusahaan peng-akuisisi tidak mengakomodasi harapan dari perusahaan target. 

Tambahan alat operasi, tambahan fasilitas kerja, dan tambahan kesejahteraan karyawan perusahaan target yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja ternyata pupus yang mengakibatkan karyawan eks perusahaan target kehilangan motivasi kerja, bahkan kemungkinan keluar dari perusahaan. Bahkan, ada perusahaan peng-akuisisi yang membuat nol tahun masa kerja bagi eks karyawan perusahaan target, sementara yang bersangkutan sudah puluhan tahun bekerja. Hal ini berbahaya bagi perusahaan pasca-akuisisi apabila menimpa karyawan berpotensi (talented). Perusahaan pasca-akuisisi harus melakukan pembinaan lagi dari nol dan ini merupakan investasi mahal.

Untuk mengatasi hal tersebut, Tim Integrasi Manajemen Office (IMO) harus melakukan inventarisasi kebutuhan alat operasi, perbaikan fasilitas kerja, dan pemerataan kesejahteraan karyawan. Tim IMO harus melakukan komunikasi intens terhadap seluruh karyawan dan menjamin bahwa perusahaan pasca-akuisisi akan menjadi perusahaan baru bagi seluruh insan perusahaan. Tim IMO harus melakukan koordinasi baik dengan unit fungsi maupun dengan unit operasional dalam mengatasi konflik tersebut. Koordinasi dan komunikasi merupakan kata kunci bagi tim IMO dalam integrasi pascamerger.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: