Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Hukum: Kasus Korupsi Asabri Bukan Kerugian Negara!

Pakar Hukum: Kasus Korupsi Asabri Bukan Kerugian Negara! Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pro-kontra seputar kasus korupsi PT Asabri (Persero) terus mengemuka di masyarakat dan bahkan kalangan praktisi dan pakar ilmu hukum nasional. Hal ini terkait dilibatkannya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI guna menakar nominal kerugian dalam kasus tersebut. Pelibatan BPK oleh sejumlah pihak dinilai kontroversial lantaran dana yang raib dalam kasus ini statusnya bukanlah uang negara. “Dari sisi mana (kasus ini) bisa dikatakan sebagai keuangan negara? Atas dasar apa BPK terlibat untuk mengaudit sedangkan dana Asabri ini tidak berasal dari uang negara melainkan dari iuran anggota TNI-Polri? Lalu apakah tepat BPK sampai ikut memeriksa?” ujar Pakar Hukum dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Prof I Gde Pantja Astawa, kepada media, Senin (13/12).

Menurut Gde, pelibatan BPK dalam kasus ini sama sekali tidak tepat lantaran dana yang terkumpul dan dikelola oleh PT Asabri bukanlah berasal dari kas negara. Karenanya, fakta bahwa telah raibnya dana di Asabri juga tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara. Pria yang juga menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Hukum di Unpad ini menyebut bahwa sebagai sebuah perseroan terbatas (PT), PT Asabri wajib tunduk pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam pengelolaannya memiliki Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) tersendiri. “Sebagai sebuah PT, ada prinsip-prinsip yang berlaku dalam pengelolaan keuangan di Asabri. Bila core bisnisnya adalah bermain dalam saham yang fluktuatif, maka hal itu sudah merupakan kebijakan perusahaan dan sama sekali tidak terkait pada kerugian keuangan negara,” tutur Gde.

Pergerakan harga saham ataupun reksadana disebut Gde bersifat sangat fluktuatif, sehingga nilainya tidak bisa benar-benar dipastikan karena setiap saat terus bergerak naik dan turun. Kondisi ini dalam pandangan Gde bertentangan dengan pengertian kerugian keuangan negara, yaitu berkurangnya uang, barang dan surat berharga yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. “Namanya saham ini kan fluktuatif, bagaimana kita bisa memastikan itu adalah kerugian keuangan negara? Soal ini saja sudah yang ganjil menurut saya. Lalu juga posisi BPK yang harusnya tidak boleh secara sepihak melakukan audit. Orang atau pihak yang diaudit harus dimintai konfirmasi bila terjadi dugaan penyimpangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara,” ungkap Gde.

Pemahaman dan pemaknaan yang disampaikannya, lanjut Gde, merupakan prinsip yang berkenaan dengan keuangan negara. Karenanya, langkah BPK untuk melakukan audit terkait jual-beli saham dan reksadana secara sepihak tanpa konfirmasi pada pelaku aktivitas jual-beli tersebut dianggap Gde merupakan langkah yang sangat ngawur dan semena-mena. “Belum lagi karena (kasus) ini berkaitan dengan transaksi saham dan reksadana, maka bisa kita kaitkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang bila terdapat sebuah kasus, maka ada penyelesaiannya tersendiri. Dalam UU Pasar Modal pun ada klausul pidana, tapi larinya bukan ke korupsi. Apa urusannya dengan korupsi? Kita harus obyektif dalam melihat kasus ini,” tegas Gde.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma

Bagikan Artikel: