Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Elektabilitas Unggul meski Anies Minim Modal Buat Pilpres 2024: Gak Pernah Bayar....

Elektabilitas Unggul meski Anies Minim Modal Buat Pilpres 2024: Gak Pernah Bayar.... Kredit Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Warta Ekonomi, Jakarta -

Relawan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sama sekali tidak gentar dengan masih maraknya praktik politik uang pada Pilpres 2024. Dukungan kepada mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu tidak bakal surut.

Salah satunya, dukungan Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI). Relawan yang dikomandoi Syarief Hidayatullah itu mengakui, jagoannya memang tak punya banyak modal keuangan untuk maju di Pilpres 2024. 

“Nggak pernah bayar lembaga survei juga. Bersaing dengan ketua umum partai politik besar, dan pengusaha dalam survei capres, tapi elektabilitasnya selalu tiga besar,” kata Syarief saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurutnya, Anies punya modal alami saja, yakni prestasi dan rekam jejaknya sebagai birokrat dan akademisi. Publik juga melihat rekam jejak prestasi, integritas, dan keberpihakan Anies kepada masyarakat bawah. Misalnya soal Upah Minimum Provinsi (UMP), Anies berani berbeda dengan kepala daerah lain.

“Termasuk soal intoleransi yang dituduhkan banyak pihak, sama sekali tak terbukti. Jakarta makin ramah dan teduh bagi semua agama,” tuturnya.

Syarief tak menampik, suara akar rumput berbeda dengan konfigurasi elite partai politik. Partai politik, biasanya akan memilih calon yang membawa modal kapital yang besar. “Tetapi sekali lagi, partai pasti realistis. Untuk apa mengusung sosok yang elektabilitasnya rendah,” pungkasnya.

Sebelumnya, anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini memperkirakan, praktik politik uang seperti jual beli tiket pencalonan (candidacy buying) dan jual beli suara (vote buying) berpotensi terjadi pada Pilkada, Pileg, maupun Pilpres pada Pemilu 2024 yang pelaksanaannya bersamaan.

“Begitu pula dengan terkait dengan basa-basi laporan dana kampanye. Politik berbiaya tinggi yang tidak akuntabel, yakni kontestasi mahal tetapi tidak tergambar dalam laporan dana kampanye,” kata Titi Anggraini saat Refleksi Akhir Tahun 2021 Dinamika Ketatanegaraan dan Kepemiluan Indonesia yang digelar Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) dan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menyebutkan, ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait dengan ambang batas pencalonan presiden, kemudian syarat calon perseorangan yang makin berat, hegemoni Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dalam pencalonan Pilkada dan ongkos politik yang makin mahal. Problematik lainnya adalah otonomi atau kemandirian penyelenggara pemilu, akurasi validitas Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan netralitas aparatur sipil negara atau birokrasi.

Dalam kesempatan itu, Titi menyampaikan sejumlah rekomendasi. Pertama terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 16/PUU-XIX/2021 yang memberi ruang pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum dapat menyepakati adanya jeda waktu antara pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/Kota dan Pemilu Anggota DPR, Pemilu Anggota DPD, serta Pemilu Presiden/Wakil Presiden.

Kedua, memperpanjang masa jabatan penyelenggara pemilu di provinsi dan kabupaten/kota setidaknya sampai dengan akhir tahapan Pilkada 2024. Namun, ini memerlukan perubahan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Rekomendasi ketiga, rekrutmen penyelenggara pemilu harus keluar dari stigma pragmatis dan kepentingan sektarian.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: