Perubahan era industri menuntut banyak hal dalam metode pembelajaran. Dalam setiap zaman masyarakat memiiki metode belajar yang berbeda-beda bergantung dari kebutuhan pada masa tersebut.
Di era Industri 1.0 misalnya, metode pendidikan lebih menekankan pada unsur kemandirian, bukan lembaga atau institusi resmi.
Masyarakat saat itu mengumpulkan makanan dan berpindah-pindah tempat (nomaden) sehingga mereka belajar sendiri tentang bagaimana cara menggunakan panah, berburu, pakai tombak dan sebagainya.
Baca Juga: BEVE Hybrid Edition 2022, Menjawab Kebutuhan Pameran Pendidikan Berkelas Dunia
Barulah saat memasuki era 2.0, masyarakat mulai belajar tentang berternak dan budidaya menggantikan berburu.
Di sini mulai dikenal konsep baca tulis meskipun bukan sebuah keharusan. Pada masa ini, sudah mulai muncul istilah karyawan dan pemberi pekerjaan.
Hal ini disampaikan oleh Executive Director Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji saat menjadi narasumber webinar Utilisasi Teknologi Sebagai Pendukung Karya Tulis, Feedback dan Penilaian yang diselenggarakan oleh perusahaan teknologi integritas akademik Turnitin baru-baru ini.
Era 3.0 merupakan era manufaktur menuntut kemampuan membaca, menulis, dan berhitung karena masyarakat sudah mulai bekerja di pabrik-pabrik.
“Saat ini kita masuk Industri 4.0 yaitu era informasi. Kalau era sebelumnya, orang yang punya formula untuk menciptakan produk tertentu yang akan menguasai (industri). Pada masa tersebut, kerahasiaan merupakan hal yang sangt penting. Sedangkan saat ini, informasi begitu terbukanya sehingga kita bisa mengakses dengan mudah,” ungkapnya.
Baca Juga: Perkuat Peran Strategis Akuntan Publik, IAPI Gelar Pendidikan Standar Jasa Investigasi
Era Industri 5.0, tutur Indra, masyarakat akan bersinggungan dengan teknologi sehingga akan banyak pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan tenaga manusia.
Terjadi transisi di mana kebutuhan fisiknya semakin berkurang sedangkan kebutuhan kecerdasan atau kemampuan berpikir semakin meningkat.
McKinsey Global Institute memprediksikan bahwa 2030 ada sekitar 400-800 juta manusia yang pekerjaannya akan digantikan oleh mesin atau robot.
“Dulu kita dituntut untuk menghafal, memahami dan mengaplikasi informasi dalam situasi yang dikenal. Maka sekarang kita dituntut berada pada level mencipta, yaitu mengeluarkan ide, produk baru dan cara pandang baru,” tambahnya.
Senada dengan itu, Dr. Mustafa Guvercin, School Director Sampoerna Academy mengatakan bahwa kemampuan menciptakan sesuatu yang baru tidak bisa digantikan oleh mesin pintar. Kompetensi ini hanya dimiliki oleh manusia dan untuk membentuk SDM berkarakter seperti ini dibutuhkan metode pendidikan khusus.
“Nalar dalam berpikir kritis dilatih dalam materi-materi tentang sains, teknologi, rekayasa teknik, seni dan matematika. Cabang-cabang ilmu ini yang mendorong seseorang untuk memiliki pola pikir solutif dan inovatif,” ungkapnya.
STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts and Mathematics) bukanlah metode baru namun hanya sedikit lembaga pendidikan di seluruh dunia yang menerapkan konsep ini dalam kurikulum belajarnya.
Sampoerna Academy adalah pelopor pendidikan STEAM di Indonesia yang sampai saat ini memiliki cabang di berbagai kota di Indonesia.
“Kami melihat bahwa para orang tua ternyata sudah mulai menyadari betapa pentingnya menyiapkan anak-anak mereka di masa depan dalam menghadapi Industri 4.0. Bahkan besar kemungkinan anak-anak ini akan hidup di era Industri 5.0 yang nantinya akan banyak digantikan oleh mesin dan robot. Dengan konsep STEAM, kami berkeyakinan bahwa mereka akan menjadi SDM unggulan di masa depan karena kemampuan berpikir dan berinovasinya,” jelas Mustafa.
Baca Juga: Pendidikan Nonformal Masih Minim Perhatian Pemerintah
Membentuk sumber daya yang high qualified mutlak dibutuhkan karena di masa depan, para pencari kerja tidak saja bersaing dengan manusia tapi juga dengan mesin dan komputer.
Pekerjaan seperti merancang strategi, memahami psikologi konsumen, membaca tren pasar tentu tidak bisa diserahkan dengan algoritma robot. Dibutuhkan sentuhan dan pikiran orisinal dari manusia.
“Kami mendorong siswa untuk berpikir kritis sehingga mereka mampu melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh orang lain sejak dini. Memandang masalah bukan dari apa yang tampak saja, tapi juga dari apa yang tidak tampak. Kompetensi seperti ini sangat dibutuhkan di era industri berbasis teknologi,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa rasionalitas tidak bisa digantikan oleh mesin pintar. Manusia tetap lebih unggul di sisi ini.
“Namun, rasionalitas harus dilatih dan dikembangkan. Pendidikan berbasis STEAM adalah jawaban untuk masalah ini,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: