Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Terkait Kasus Penjara Ilegal Bupati Langkat, Ternyata Tersangka Tidak Dikerangkeng

Terkait Kasus Penjara Ilegal Bupati Langkat, Ternyata Tersangka Tidak Dikerangkeng Kredit Foto: Antara/Oman
Warta Ekonomi -

Delapan orang tersangka kasus penjara ilegal di kediaman pribadi Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin tidak dikerangkeng.

DIREKTUR Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Polisi Tatan Dirsan Atmaja mengatakan para tersangka bersikap kooperatif panggilan pemeriksaan.

Baca Juga: Kabar Terbaru, Polisi Kantongi Calon Tersangka Dalam Kasus Kerangkeng Bupati Langkat

Setelah diperiksa, mereka dipersilakan pulang. Tidak dilakukan penahanan. “Hanya dikenakan wajib lapor seminggu sekali ke Polda,” ujar Tatan.

Diketahui salah satu tersangka adalah Dewa Peranginangin nak kandung Terbit Rencana Perangin Angin. Sementara tujuh orang lainnya berinisial HS, IS, RG, JS, HG, SP dan TS.

Pihak kepolisian menjerat Dewa, HS, IS, TS, RG, JS dan HG dengan Pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang. Ancaman hukumannya 15 tahun.

Sementara dua tersangka berinisial SP dan TS dikenakan Pasal 2 yang ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara.

Tatan melanjutkan, dalam waktu dekat akan melakukan gelar perkara dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap para tersangka. Termasuk memeriksa perusahaan kelapa sawit milik Terbit, sebagai tempat kerja penghuni kerangkeng ilegal.

“Penyidik juga berkoordinasi dengan pihak kejaksaan terkait perkara yang kita proses,” tandasnya.

Sikap kepolisian yang tidak melakukan penahanan terhadap para tersangka, dikhawatirkan bisa membuat mereka leluasa dalam melakukan pendekatan kepada keluarga korban. Tidak menutup kemungkinan, mereka menawarkan uang damai agar hukumannya bisa diringankan kepolisian.

Kuasa hukum Dewa Peranginangin, Sangap Surbakti mengaku kliennya kaget ketika ditetapkan sebagai tersangka. “Sebagai manusia pasti kaget. Dia konsultasi ke saya secara hukum,” kata Sangap.

Berdasarkan pengakuan Dewa yang diterimanya, anak sulung Terbit Rencana Perangin Angin itu mengaku tak tahu menahu soal korban tewas di kerangkeng rumahnya. Bahkan mereka menyebut Dewa dituduh.

“Anak muda yang tidak tahu apa-apa, tidak mengerti apa-apa dituduh begitu bertubi-tubi,” klaimnya.

Sangap mengatakan, polisi hanya mengambil saksi dari orang yang hanya mendengar, bukan melihat. “Kalau yang bersaksi tidak melihat, hanya mendengar itu gak bisa. Kita lihat saja nanti di pengadilan,” tutupnya.

Sebelumnya diberitakan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendapati adanya tindakan merendahkan martabat manusia dalam kasus kerangkeng ini.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menyampaikan, pihaknya menemukan adanya tindakan menggunduli dan menelanjangi penghuni kerangkeng.

Tak hanya itu, para penghuni juga dipaksa minum air seni sendiri serta mengunyah cabai lalu dibalurkan ke wajah serta kelamin. Bahkan kata Edwin, ada tindakan yang tak bisa disampaikan di depan umum.

“Baru saat ini, selama 20 tahun saya menangani korban, kasus ini yang paling kejam yang saya temui,” ujarnya.

Baca Juga: Eng Ing Eng, Prabowo Subianto Diusung Jadi Capres 2024 Oleh Gerindra...

Dia melanjutkan, para korban dieksploitasi untuk bekerja sebagai buruh pabrik dan penyedia pakan ternak milik Terbit.

Namun, tidak seperti buruh lain yang menggunakan sepatu, seragam dan helm. Sebab para penghuni kerangkeng hanya menggunakan celana pendek tanpa alas kaki.

Dugaan TPPO ini ada kaitannya dengan pemanfaatan tenaga para penghuni kerangkeng secara paksa. Sebab pelaku menghilangkan kemerdekaan orang secara tidak sah dan lokasi rehabilitasi dinyatakan ilegal dan tidak memenuhi standar.

Temuan LPSK pada akhir Januari 2022, keluarga penghuni kerangkeng dilarang menjenguk selama 3-6 bulan dan tidak boleh menuntut jika penghuni sakit atau meninggal dunia. Informasi itu disampaikan secara tertulis oleh pelaku kepada keluarga korban.

“Apabila ada hal-hal yang terjadi terhadap yang diserahkan selama pembinaan, seperti sakit atau meninggal dunia, maka pihak keluarga tidak akan menuntut kepada pihak pembina dari segi apa pun,” kata Edwin.

Sementara dugaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada 19 pelaku tindakan kekerasan di kerangkeng manusia yang terdiri dari anggota Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian Republik Indonesia, organisasi massa, serta anggota keluarga Terbit.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengungkapkan, para pelaku biasanya berperan sebagai pengurus kerangkeng manusia. Mulai dari pembina, kepala Lembaga pemasyarakatan, pengawas, serta kepala keamanan.

“Penghuni lama juga dilibatkan untuk melakukan tindakan yang sama sebagai alat kontrol,” kata Anam.

Namun, hingga kini polisi baru menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus kerangkeng manusia ini. Meskipun pihaknya menduga pelakunya lebih dari itu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Adrial Akbar

Bagikan Artikel: