RUU PDP: Kepentingan Antara Perlindungan Data Pribadi dan Perkembangan Ekosistem Digital
Pesatnya perkembangan era digital di Indonesia, kini mendorong setiap individu untuk banyak melakukan hampir segala aktivitasnya di ranah digital.
Namun tentunya, kecenderungan tersebut turut memberikan berbagai dampak, salah satunya adalah menimbulkan kerentanan terhadap keamanan data pribadi setiap pengguna yang gemar berselancar di dunia maya.
Baca Juga: STIK-PTIK Hadirkan Solusi dan Dorong Pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi
Data pribadi, menjadi aspek yang paling rentan untuk disalahgunakan oleh orang tak bertanggungjawab. Saat ini, sudah banyak kasus-kasus kebocoran data pribadi yang diperjualbelikan secara daring melalui situs-situs ilegal di Indonesia.
Oleh karenanya, untuk menghindari semakin banyak bertambahnya korban dan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, diperlukan regulasi serta kebijakan negara yang mengatur keamanan data pribadi masyarakat. Khususnya regulasi dan keamanan yang mengatur di ruang digital.
Hal itu dibahas secara tuntas di dalam webinar bertajuk "Ngobrol Bareng Legislator: Menanti Disahkannya RUU Perlindungan Data Pribadi", pada Selasa (19/4/2022).
Anggota Komisi I DPR RI, Farah Puteri Nahlia memaparkan, RUU PDP membahas tentang setiap data seseorang, baik yang terindetifikasi dan diindentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya. Baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sitem elektronik atau non-elektronik.
"Dalam dunia digital seperti saat ini, yang mana penyebaran informasi sangat masif, kehadiran sebuah landasan hukum yang dapat melindungi privasi dan menjadi sebuah keniscayaan. Terlebih lagi di dunia modern seperti saat ini, data menjadi sebuah komoditas utama dalam perkembangan inovasi ekosistem digital," ujar Wakil Rakyat yang berasal dari Fraksi PAN tersebut.
Menurutnya, RUU PDP dapat mengklasifikasikan data pribadi ke dalam dua jenis, yaitu bersifat umum dan spesifik.
"Adapun yang termasuk ke dalam data umum seperti nama lengkap, jenis kelamin, agama, dan lain sebagainya. Sedangkan yang bersifat spesifik, adalah data atau informasi kesehatan, pandangan politik, keuangan pribadi, dan lain sebagainya," tuturnya.
Klasifikasi data pribadi tersebut, kata Farah, dikelompokkan berdasar pada jenis pelanggaran yang kerap sekali terjadi menimpa masyarakat Indonesia.
Seperti, di antaranya kebocoran data BPJS Kesehatan yang terjadi pada Mei 2021 lalu, penjualan data nasabah BRI life yang terjadi di tahun yang sama, serta kebocoran data jaringan Bank Indonesia (BI).
Untuk itu, menurutnya sangatlah penting RUU PDP ini segera disahkan.
"Kehadiran dari UU PDP ini berada di garis tengah, antara kepentingan perlindungan data pribadi serta kepentingan perkembangan ekosistem digital terutama dalam aspek inovasi dan bisnis. Lalu, kehadiran UU PDP menjadi urgent apabila kita melihat tentang history dari kasus kebocoran data pribadi di Indonesia," terangnya.
Ia memaparkan, berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh APJII pada 2020 lalu, tingkat kepercayaan individu terhadap keamanan data pribadi di internet hanya sebebsar 57,8 persen.
Angka tersebut, kata Farah, masih jauh dari kategori baik karena masih banyak responden yang merasa bahwa data pribadi di internet cenderung tidak aman. Kemudian kalau belajar dari luar negeri bahwa perkembangan pengaturan pdp secara internasiona/2020 bahwa terdapat 132 negara telah memiliki UU PDP baik secara Comprehensive maupun sektoral, beberapa negara melakukan amandemen dengan menyesuaikan dengan GDPR, dan bahkan Jepang telah diakui oleh GDPR sebagai “Adequate”.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq