Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Utang Indonesia Terus Bertumbuh, Beban Bagi Presiden Sejanjutnya

Utang Indonesia Terus Bertumbuh, Beban Bagi Presiden Sejanjutnya Kredit Foto: Peruri
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, menyebut tingginya utang Indonesia saat ini bisa menjadi beban bagi presiden selanjutnya. Pasalnya, utang Indonesia yang mencapai 7.000 triliun harus ditanggung negara dalam waktu yang lama.

Oleh karena itu, presiden selanjutnya mendapat beban yang berat karna harus memikirkan soal utang negara, sekaligus menjalankan program kerjanya dengan baik.

Baca Juga: Singgung Utang Luar Negeri Indonesia, Rocky Gerung: Jokowi Tinggalkan Utang yang Berbahaya

"Dengan kata lain Presiden berikutnya setelah Jokowi harus menanggung utang yang sedemikian besar. Hal ini sangat dilematis karena disisi lain Presiden kedepan harus mampu menjalankan program-program kerjanya dengan lebih baik," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima.

Kata Achmad, tentunya program kerja Presiden selanjutnya akan memakan biaya besar. Namun di sisi lain, Presiden baru nantinya harus tetap membayar utang negara. Achmad menyebut itu hal dilematis yang harus diterima penerus Presiden Jokowi.

"Ini akan seperti menelan buah simalakama, karena secara bersamaan Presiden berikutnya harus membayar utang-utang negara juga," katanya. menjelaskan.

Tak hanya itu, hutang ini juga akan jadi hambatan pembangunan nantinya. Apalagi jika situasi ekonomi belum membaik, Indonesia terpaksa harus menambah utangnya. 

Tetapi, ia menambahkan, besarnya utang akan berdampak positif bila itu disalurkan untuk proyek yang menghasilkan. Sayang, kebanyakan pinjaman itu, bagi Achmad, tidak produktif.

"Utang ini akan positif bila disalurkan untuk proyek-proyek yang memilik return, akan tetapi ternyata faktanya tambahan utang saat ini tidak efisien untuk mendukung pembangunan dan produktivitas," jelasnya. "Sementara ini pembayaran bunga utang terus meningkat sementara subsidi cenderung turun.  Ini bisa kita lihat dari alokasi anggaran APBN. Artinya hal tersebut sifatnya fundamental dan struktur, sehingga siapapun presidennya, dari manapun dia datang, dia harus menjalankan APBN seperti ini."

Lebih lanjut, ia berharap Presiden Jokowi dapat meringkankan beban Presiden selanjutnya, agar dapat menjalankan tugasnya lebih maksimal. Caranya dengan mengerjakan pekerjaan yang bersifat strategis dan menyelesaikan kewajiban utang saat ini

"Dari tahun 2017 sampai tahun 2022 Indonesia membayar utang melampaui 3 anggaran belanja yang langsung ke sektor masyarakat kecil dan sektor produktif. Diprediksi tahun 2022 cicilan hutang kita sebesar Rp. 405 triliun, sementara subsidi-subsidi sosial hanya sekitar 190 hingga 200 triliun."

Perlu Evaluasi

Achmad menambahkan, pengunaan utang saat ini perlu dievaluasi. Bila digunakan untuk yang tidak prioritas dan produktif, tim ekonomi dan pengambilan keputusan negara bisa dihukum.

"Jadi keberadaan utang negara saat ini benar-benar sangat beresiko kepada kedaulatan negara. Karena dengan berhutang keluar negeri akan membuat negara kita tidak punya kemandirian secara politik dan secara kedaulatan ekonomi," pungkasnya.

Besar Hutang Indonesia

Kementerian Keuangan telah mengumumkan, per akhir Februari 2022, posisi utang pemerintah sebesar Rp 7.014,58 triliun atau setara 40,17% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Berdasarkan laporan APBN KiTa edisi Maret 2022, bertumbuhnya total utang pemerintah, seiring dengan penerbitan surat berharga negara (SBN) dan penarikan pinjaman pada bulan Februari 2022. Langkah itu dilakukan demi menutup pembiayaan APBN.

Menurut data, utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo terlihat membengkak dibandingkan era SBY.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Adrial Akbar
Editor: Adrial Akbar

Bagikan Artikel: