Peningkatan prevalensi perokok menjadi kekhawatiran di banyak negara. Meskipun begitu, potensi mengurangi jumlah perokok dapat didorong oleh kehadiran produk alternatif tembakau. Hal ini pula yang mendasari langkah pengendalian tembakau terkini di Malaysia, di mana Kementerian Kesehatan setempat mencanangkan berbagai strategi baru, salah satunya adalah melegalkan produk alternatif sebagai solusi berhenti merokok.
Angka potensi memotong generasi perokok di Malaysia memang terbilang besar. Hasil model dari laporan The Cochrane 2021 yang diaplikasikan di Malaysia menunjukkan sebanyak 140.000–220.000 perokok Malaysia dapat berhenti merokok setiap tahun dengan beralih ke produk vaping. Penurunan 2,9% - 4,5% per tahun berdasarkan prevalensi merokok saat ini dapat mengurangi jumlah perokok di Malaysia dari 4,88 juta ke 4 juta perokok pada tahun 2025 mendatang.
Pemerintah Malaysia memilih untuk menurunkan angka perokok dengan kebijakan pelarangan, sekaligus mengatur penggunaan produk alternatif sebagai pengganti.
"Undang-undang baru yang diusung tidak hanya berisi ketentuan untuk melarang merokok untuk generasi berikutnya, tetapi juga mengatur produk vaping. Untuk anggaran 2022, pemerintah berencana mengenakan pajak vape dan cairan rokok elektrik yang mengandung nikotin, yang secara efektif melegalkan produk-produk ini," ungkap Menteri Kesehatan Malaysia, Khairy Jamaluddin.
Merespons hal ini, sejumlah organisasi non-profit (NGO) di Malaysia, seperti Asosiasi Kesehatan Ikram, MyWatch, Asosiasi Farmasi Malaysia, dan Komunitas Kanker Nasional beri dukungan terhadap rancangan undang-undang baru tersebut.
Banyak pihak sepakat Malaysia memiliki potensi besar untuk mewujudkan generasi bebas merokok. Asosiasi Pengobatan Ketergantungan Malaysia (AMAM) melaporkan bahwa 50 persen perokok di Malaysia saat ini ingin berhenti.
Sementara pada survei yang berbeda, Zebra Hijau (TGZ) menyebut bahwa sebanyak 80 persen penduduk Malaysia percaya pada penerapan strategi pengurangan bahaya tembakau di negara tersebut akan membantu perokok beralih dari rokok tembakau tradisional.
Di banyak negara, tidak terkecuali Indonesia, tantangan regulasi yang tidak proporsional menjadi salah satu hambatan utama dalam upaya penurunan prevalensi perokok melalui pemanfaatan produk alternatif.
Sebuah laporan yang disusun Pusat Penelitian dan Informasi Data Metrik (DARE) yang menampung banyak ahli dari berbagai latar belakang, seperti kesehatan, bisnis, dan riset, memaparkan fakta tersebut.
Laporan bertajuk "Membersihkan Asap Pengurangan Kerusakan Tembakau – Game Changer untuk Masalah Merokok Malaysia" menunjukkan bahwa keberhasilan strategi bebas rokok akan selalu terkait erat dengan kerangka regulasi yang proporsional terhadap risiko produk.
Larangan untuk merokok harus disertai dengan opsi-opsi alternatif bagi perokok aktif di usia dewasa. Sementara, untuk mencegah naiknya jumlah perokok anak, strategi potong generasi dapat dijalankan, sekaligus dibarengi dengan pengetatan akses terhadap produk, baik rokok konvensional ataupun alternatif.
Menunjukkan KTP sudah banyak diterapkan di berbagai gerai penyedia produk tembakau alternatif, akan tetapi lain halnya dengan warung-warung kecil yang menjual rokok konvensional secara bebas.
Pada tahun 2021, BPS mencatat sebanyak 3,69 persen anak Indonesia di bawah umur aktif merokok. Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Center for Youth and Population Research (CYPR), Dedek Prayudi mengemukakan berkembangnya industri rokok alternatif pada dasarnya sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai pemerintah dalam hal menurunkan risiko merokok.
"Pemerintah sebaiknya membuka opsi baru yang sebetulnya sudah terbuka jalannya, yakni PTA (Produk Tembakau Alternatif). PTA sebetulnya sudah beredar luas di masyarakat perkotaan, hanya saja belum diregulasi, kecuali cukai. Padahal dengan diregulasinya PTA, PTA membuka ruang untuk diversifikasi hilir pertanian tembakau, juga menjadi ekosistem industri baru dan yang pasti menurunkan prevalensi merokok," tegasnya.
Lebih lanjut Dedek menilai, perlu langkah-langkah baru yang lebih agresif agar target yang dicanangkan bisa segera tercapai. Indonesia bisa mencontoh pemerintah Britania Raya dan Selandia Baru yang sudah memperbolehkan produk alternatif untuk diresepkan oleh tenaga kesehatan.
"Pertama, Pemerintah bisa memulai lakukan riset untuk lebih mendalami profil risiko PTA, riset yang dilakukan sendiri oleh Pemerintah, sehingga akan menjadi riset otoritatif. Kedua, sesuaikan berbagai kebijakan dan turunan regulasinya berdasarkan hasil pendalaman profil risiko. Ketiga, terapkan aturan pengecekan identitas secara ketat di setiap transaksi produk tembakau, termasuk PTA maupun rokok konvensional," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: