Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

BMKG Catat Dampak Buruk Fenomena Perubahan Iklim di Indonesia, Simak!

BMKG Catat Dampak Buruk Fenomena Perubahan Iklim di Indonesia, Simak! Kredit Foto: Andi Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, memaparkan bahwa saat ini Indonesia berada dalam kondisi perubahan iklim. Dia menjelaskan, hal tersebut menjadi tantangan besar yang mesti dihadapi oleh Indonesia.

"Dampak perubahan iklim makin nyata dan serius, laju kenaikan suhu dalam 42 tahun terakhir telah mencapai rata-rata 0,002 derajat celsius hingga 0,443 celcius per dekade di wilayah Indonesia," kata Dwikorita dalam sambutannya pada Rapat Koordinasi Nasional yang dilakukan secara online, Senin (8/8/2022).

Baca Juga: Bukan Ramalan, BMKG Beber Tsunami 10 Meter Berpotensi Terjang Wilayah di Jateng

Dwikorita memaparkan, kenaikan suhu udara di permukaan tertinggi terjadi di Kalimantan Timur hingga 0,47 derajat celsius per dekade. Selain itu, kata Dwikorita, secara global, suhu permukaan bumi naik hingga 1,1 derajat celsius dibandingkan masa pra-industri pada tahun 1900 hingga 1950.

"BMKG menganalisis dan memproyeksikan kenaikan suhu udara akhir abad 21 dapat mencapai 3 derajat celcius atau lebih," katanya.

Dia memaparkan, pihaknya berhasil mencatat. Ahsan terjadi peningkatan kehangatan permukaan air lau Indonesia hingga 29 derajat celsius pada saat ini. Hal tersebut, kata dia, terjadi karena La Nina dan Badai Tropis.

Selain itu, Dwikorita memaparkan bahwa gletser puncak Jayawijaya juga mengalami pencairan kurang lebih 2 km² atau satu persen dari luas awal sekitar 200 km². "BMKG juga memprediksi, glatser tersebut akan punah mencair di sekitar tahun 2025-2026," ungkapnya.

Dwikorita juga menyebut bahwa terjadi kenaikan rata-rata muka air laut global. Dia mengatakan, hal tersebut termonitor mencapai 4,4 mm pertahun pada periode 2010-2015 dengan laju yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode 1990an yakni sebesar 1,2 mm per tahun.

Dia juga memaparkan bahwa periode ulang anomali iklim El Nino dan La Nina terjadi makin pendek, dari 5 hingga 7 tahun pada periode 1959-1980, menjadi hanya 2 hingga 3 tahun selama periode paska 1980 hingga saat ini.

"Seluruh fenomena tersebut berakibat pada makin meningkatnya frekuensi, intensitas, dan durasi cuaca ekstrem. Itulah sebabnya kejadian bencana hidrometeorologi seperti, banjir, longsor, banjir bandang, bada tropis, puting beliung, dan kekeringan juga meningkat frekuensi, intensitas, durasi dan kejadiannya," jelas dia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Andi Hidayat
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: