Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Program Subsidi Kendaraan Listrik Seakan Hanya Mempermainkan Rakyat

Program Subsidi Kendaraan Listrik Seakan Hanya Mempermainkan Rakyat Pengguna mobil listrik mengisi daya di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Padang, Selasa (26/7/2022). PT. PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Sumatera Barat yang telah mengoperasikan satu unit layanan SPKLU di Padang menargetkan penambahan pembangunan SPKLU di Kota Solok, Bukittinggi, dan Payakumbuh dalam tahun ini untuk mempercepat pembentukan ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) di Indonesia. | Kredit Foto: Antara/Muhammad Arif Pribadi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai program subsidi pembelian kendaraan listrik hanya memberi harapan palsu kepada masyarakat. 

Pasalnya informasi yang sempat menghebohkan ternyata tidak ada alokasinya di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.

"Hanya bikin gaduh saja. Masyarakat selalu di-PHP-in. Program yang belum jelas implementasinya sebaiknya pemerintah tidak menyampaikan ke publik. Karena jiika masyarakat berharap dan tidak tertunaikan akan mengesankan bahwa pemerintah mempermainkan harapan rakyat," ujar Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (21/12/2022).

Baca Juga: Subsidi Kendaraan Listrik Salah Sasaran Jika Diberikan ke Pengguna Roda Empat

Ditambah lagi dengan ungkapan yang dilontarkan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu yang menyebutkan APBN 2023 belum memasukkan anggaran untuk subsidi kendaraan listrik. 

"Dia pun menegaskan bahwa untuk nilai anggaran subsidi sebesar Rp80 juta untuk pembelian mobil listrik, Rp40 juta untuk mobil berbasis hybrid, Rp8 juta untuk motor listrik, dan Rp5 juta untuk konversi motor listrik masih belum difinalkan," ujarnya.

Achmad mengatakan, besaran angka subsidi untuk pembelian mobil listrik senilai Rp80 juga dan mobil berbasis hybrid sebesar Rp40 juta sangatlah fantastis mengingat angka tersebut hanya bisa didapatkan oleh orang dengan ekonomi kelas atas.

Berbanding terbalik dengan bantuan sosial yang hanya berada di angka Rp600 ribu, dengan begitu ini berpotensi bisa mengakibatkan kecemburuan sosial.

"Subsidi kendaraan listrik ini hanya akan menguntungkan perusahaan asing saja karena saat ini yang menguasai pasar kendaraan listrik adalah China dan Korea," ungkapnya. 

Menurutnya, ambisi negara ini kurang besar dalam industri kendaraan. Jika kendaraan listrik ini dijadikan solusi sebagai kendaraan yang ramah lingkungan yang mengurangi emisi karbon, maka seharusnya dari saat ini program yang didahulukan adalah membangun industri kendaraan listrik. 

Ditambah lagi dengan kondisi Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar di dunia yang mana nikel merupakan bahan baku baterai.

"Jika produksi nikel dikuasai oleh Indonesia (bukan oleh China atau asing) dan juga memproduksi baterai dan kendaraan listrik, maka Indonesia akan mengalami lompatan besar dalam ekonomi," ucapnya.

Achmad mengungkapkan jika mampu melakukan itu, maka yang terjadi adalah Indonesia bisa menjadi raksasa ekonomi dunia. Pasalnya, dahulu negara yang menjadi raksasa ekonomi adalah negara yang menguasai minyak, sementara energi berbahan fosil semakin habis dan sekarang beralih ke penggunaan baterai.

Kemudian juga Indonesia dapat memproduksi kendaraan listrik yang baterainya dihasilkan di dalam negeri, sehingga keuntungan akan masuk ke dalam negeri.

"Dampaknya adalah harga kendaraan listrik yang dibuat di dalam negeri akan lebih murah, jadi tidak perlu ada lagi wacana subsidi kendaraan listrik," ujar Achmad. 

Meski begitu, tantangannya akan sangat besar karena perusahaan kendaraan listrik asing akan tersaingi dan terpinggirkan. Namun, Indonesia akan mempunyai posisi kuat untuk bekerja sama dalam penyediaan baterai yang telah dikuasai negara dari hulu ke hilir.

"Pertanyaannya, apakah Indonesia tidak punya SDM yang mampu merancang dan membuat kendaraan? Apakah Indonesia tidak mampu mengadakan peralatan untuk memproduksi kendaraan? Jika jawabannya “iya”, maka Indonesia susah untuk menjadi negara maju, program pendidikan Indonesia dianggap gagal jika tidak mampu mencetak SDM yang mampu merancang dan membuat kendaraan," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: