3 Alasan Mengapa Koalisi Perubahan Tak Kunjung Deklarasikan Dukungan Kepada Anies Baswedan
Analis politik, Arifki Chaniago memaparkan, dari hasil riset kualitatif Aljabar Strategic, menunjukkan ada beberapa alasan masing-masing koalisi sulit mendeklarasikan paket capres dan cawapresnya.
"Pertama, belum tercapainya kesepakatan di antara anggota partai koalisi terhadap capres dan cawapres yang bakal diusung," ujar Arifki yang merupakan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, dikutip hari ini.
Ia menilai Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi oleh Golkar, PAN, dan PKB masih kesulitan mendorong ketiga ketua umum sebagai capres dan cawapres.
Baca Juga: PDIP 'Puyeng' Pilih Ganjar Pranowo atau Puan Maharani: Menentukan Peta Koalisi!
Hal ini diperkuat isu bahwa KIB dipersiapkan bukan untuk kader ketiga partai tersebut, melainkan Ganjar Pranowo jika gagal diusung PDI Perjuangan.
Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang digawangi Gerindra dan PKB telah memunculkan nama Prabowo Subianto sebagai capres, tetapi Muhaimin Iskandar atau Cak Imin masih menanti kepastian cawapres. Alhasil terjadi tarik-menarik kepentingan di antara anggota koalisi.
Sedangkan Koalisi Perubahan antara Demokrat, NasDem, dan PKS saling mengunci setelah Anies Baswedan dideklarasikan sebagai capres.
Demokrat bersikukuh ketuanya, Agus Harimurti yang diusung menjadi cawapres Anies. Demikian pula PKS yang mendorong kadernya, Ahmad Heryawan.
Baca Juga: PDIP 'Puyeng' Pilih Ganjar Pranowo atau Puan Maharani: Menentukan Peta Koalisi!
Alasan kedua, lanjut Arifki, masing-masing koalisi maupun PDIP saling ingin melihat paket capres dan cawapres lawan.
"Ketika masing-masing koalisi ini terus saling menunggu menyebabkan deal-deal paket capres dan cawapres ini semakin sulit terwujud dalam waktu dekat," jelas Arifki.
Ketiga, menurut dia, masing-masing partai koalisi ini tidak ingin publik ikut serta dalam penentuan capres dan cawapres. Parpol merasa pilpres ranahnya dan bagian masyarakat adalah memilih calon yang disediakan parpol.
"Tidak munculnya figur-figur alternatif dari empat poros koalisi yang sebenarnya mampu terbentuk, bukti bahwa masyarakat hanya boleh memilih calon yang sudah disediakan oleh parpol," tegasnya.
Arifki mengingatkan, koalisi parpol ini harus berani dan jangan terlalu lama menunggu. Sebab, publik bakal jenuh jika ada upaya mendorong Pilpres 2024 kembali dua poros.
"KIB tentu dianggap antiklimaks jika gagal mengusung salah satu kader dari anggota koalisi sebagai capres dan cawapres," imbuh dia.
Di balik wacana naturalisasi Ganjar oleh poros KIB, Arifki melihat skema ini justru berpotensi menggagalkan Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Mardiono sebagai kandidat capres dan cawapres.
Sebagai koalisi yang lebih awal terbentuk dari dua poros lainnya, hemat Arifki, seharusnya KIB sudah membuat langkah besar ketimbang menunggu partai lain berkoalisi lalu mendeklarasikan capres-cawapres.
"Wacana koalisi ini dimulai oleh KIB, tetapi dinginnya juga disebabkan oleh KIB," cetus dia.
Baca Juga: Respons Sentilan Jokowi, Faldo Maldini Ikutan Sindir 'Koalisi Anies' yang Masih Belum Jelas
"KIB jangan sampai dianggap sebagai biro jodoh capres dan cawapres Pilpres 2024, jika tidak ada kader dari ketiga anggota koalisi yang terpilih sebagai capres dan cawapres," tukas Arifki, menambahkan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty
Tag Terkait:
Advertisement