Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Daerah Istimewa Yogyakarta (PD RTMM-SPSI DIY), Pengurus Pusat RTMM SPSI bersama perwakilan Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Pakta Konsumen, akademisi dari Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, serta pengamat kebijakan menyepakati bahwa revisi PP 109/2012 bukan solusi yang tepat dalam menangani permasalahan pertembakauan di Indonesia. Kesepakatan demikian terbentuk berdasarkan peninjauan dampak usulan revisi PP 109/2012 secara komprehensif.
Demikian kesimpulan dalam dialog kebijakan multipihak bertema “Upaya Membangun Kesepahaman Bersama Tentang Kebijakan Pertembakauan Indonesia” yang digelar PD RTMM-SPSI DIY, baru-baru ini. Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum Pakta Konsumen, Ari Fatanen, menggarisbawahi keengganan pemerintah untuk merangkul 69,1 juta konsumen rokok di Indonesia dalam perumusan dan penegakan kebijakan tembakau. Baca Juga: Soal Kebijakan Tembakau, Pemerintah Diminta Bentengi Diri dari Intervensi Asing
"Perlu melibatkan konsumen hal partisipatif dalam regulasi. Konsumen ini seperti anak tiri. Menyumbang cukai, infrastruktur, pembangunan, tapi hak partisipatif secara konstitusional saat ini belum diberikan. Sampai hari ini masih jarang terjadi apalagi apalagi di level setingkat menteri seperti halnya PP 109/2012. Justifikasi dengan satu sudut pandang saja,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah perlu merangkul semua pemangku kepentingan terkait untuk melakukan pendekatan persuasif melalui gerakan bersama dalam upaya mencegah perokok anak.
Sekretaris Jenderal AMTI, Hananto Wibisono, menyepakati pendapat tersebut dengan menunjukkan ketidaksesuaian data pemerintah dengan kondisi riil perokok saat ini. Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) telah menunjukkan penurunan angka perokok anak berusia 18 tahun ke bawah sejak empat tahun terakhir. Namun, pemerintah tetap merujuk data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sebagai dasar dari usulan revisi PP 109/2012 dalam Keppres 25/2022.
“Evaluasi saja belum sudah berbicara tentang revisi. Hadirnya PP itu sudah mengurangi jumlah produksi rokok. Jumlah prevalensi perokok anak juga turun, kok. Pemerintah memperlakukan rokok sebagai produk legal yang perlakuannya ilegal," ucap Hananto.
Sementara itu, Ketua Persatuan PPRK, Agus Sarjono, menyampaikan dampak dari kurangnya evaluasi PP 109/2012 terhadap perusahaan rokok. Perusahaan rokok berkontribusi dalam mencapai target pendapatan pemerintah dan mematuhi aturan, termasuk PP 109/2012. Akan tetapi, pemerintah justru mengesampingkan hal ini dan gagal menangkap celah pemberlakuan aturan yang lebih mendesak.
“Jumlah rokok SKT dan SKM sudah diatur perbungkusnya, jadi kita tidak mungkin mengakali. Kalau (pemerintah) akan mengatur tentang pendapatan negara itu masuk akal. Tapi kalau (pemerintah) mau lebih kreatif, (pemerintah seharusnya memikirkan) bagaimana memasifkan penanggulangan rokok ilegal karena ada dana DBHCHT,” usul Agus.
Selanjutnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, mewakili pekerja berpendapat bahwa revisi PP 109/2012 menempatkan buruh rokok sebagai korban dan tidak akomodatif terhadap kelompok tembakau.
“Orang-orang kecil menjadi termarjinalkan dalam regulasi ini, terpinggirkan. UUD 1945 saja menyatakan hak untuk mendapatkan penghidupan dan penghasilan yang layak. Jika begitu, orang kecil sudah menjadi korban. Masa tidak jadi pertimbangan (pemerintah sebelum mengusulkan PP 109/2012)?” ucap Sudarto.
Sedangkan dosen Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, Arif Kurniar Rahman, menyampaikan bahwa permasalahan terbesar dari peraturan tembakau saat ini adalah pemisahan konteks legal hukum dalam proses penyusunan regulasi dengan aspek sosio-kultural yang ada dalam masyarakat. Pemerintah terlalu berkutat pada pola pikir kesehatan tanpa membayangkan relasinya dengan sektor lain, seperti kesejahteraan. Untuk mendorong perumusan dan pemberlakuan aturan yang ideal, Arif mendorong terciptanya ruang diskusi. Baca Juga: AMTI Minta Pemerintah Lindungi Industri Tembakau dari Intervensi Asing
Dalam kesempatan yang sama, peneliti sekaligus pemerhati kebijakan, Agustinus Moruk Taek juga menyampaikan hasil telaah kebijakan dari PP 109/2012 berdasarkan analisis teks kebijakan, konteks politik, dan kontekstualisasi peraturan. Hasil telaah ini menunjukkan tidak adanya urgensi untuk melakukan revisi PP 109/2012 karena lemahnya data dan justifikasi revisi PP 109/2012 yang parsial atau sepihak.
“Kebijakan yang sudah ada saat ini untuk industri tembakau nasional, yaitu PP 109/2012, sudah komprehensif. Aturan ini sudah mengcover seluruh aspek terkait, termasuk larangan akses untuk anak-anak di bawah 18 tahun. Revisi bukan solusi. Yang dibutuhkan sekarang adalah sosialisasi dan penegakannya. Semuanya harus dilaksanakan berlandaskan semangat gotong royong untuk mencapai target bersama,” tegas Agustinus.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait:
Advertisement