Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat Harap Pemilihan Wakil Ketua MA Non Yudisial Cerminkan Keterwakilan Kamar Perkara

Pengamat Harap Pemilihan Wakil Ketua MA Non Yudisial Cerminkan Keterwakilan Kamar Perkara Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Mahkamah Agung (MA) baru saja menggelar sidang paripurna khusus pemilihan Wakil Ketua Bidang Yudisial, Selasa (7/2) yang lalu. 

Sebanyak 44 hakim agung menggunakan hak suaranya di mana Sunarto mendapat 27 suara sehingga berhak menduduki jabatan tersebut. 

Namun pemilihan jabatan pimpinan MA belum selesai. Sebab, akan ada kekosongan jabatan, yakni Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial yang sebelumnya dijabat Sunarto. Siapakah sosok yang pantas menggantikan?. 

Pengamat hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta DR Septa Chandra memiliki harapan tersendiri tentang pemilihan Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial. Hal tersebut mengingat keberadaannya dipandang strategis bagi pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sumber daya manusia di lingkungan MA. 

"Pertama, yang terpilih mesti berintegritas dan punya pengalaman manajerial. Saya kira semua hakim agung yang pernah menjabat ketua kamar atau ketua muda layak dipilih," kata Septa, Senin (13/2), kepada wartawan. 

Dia menyatakan, semua hakim agung dengan kriteria dimaksud pantas mencalonkan diri selama tidak pernah terindikasi melanggar hukum atau kode etik. 

Indikasi itu dapat ditelusuri dari catatan rekam jejak hakim selama berkarir, termasuk melalui informasi pengaduan masyarakat. 

"Kedua, yang terpilih memiliki komitmen serta ketegasan untuk menegakkan marwah peradilan. Karena yang diawasi adalah perilaku orang, kadang rekan, kadang teman, keluarga, dan macam-macam, maka tidak boleh ada kompromi terhadap siapa pun," ungkap Wakil Rektor IV UMJ  tersebut.

Dia menyebut, di antara tugas berat Wakil Ketua MA non Yudisial ialah memberantas keberadaan makelar kasus. Siapa pun yang terpilih nantinya harus menutup rapat celah bagi kemungkinan terjadinya praktik transaksi perkara. 

"Ketiga, sebisa mungkin mencerminkan prinsip keterwakilan kamar atau badan peradilan secara demokratis," tambah Septa.

Menurutnya, meski urusan memilih sepenuhnya hak setiap hakim agung, sangat penting mempertimbangkan respresentasi kamar di mana seorang calon bertugas. Hal tersebut terutama untuk menghindari kesan diskriminatif mengenai peluang jabatan karir hakim. 

"Jangan sampai timbul kesan kalau jabatan pimpinan itu jatah hakim kamar A atau B, kamar lain tidak bisa, meskipun prosesnya melalui pemilihan ya. Karena kita tahu hakim agung yang bertugas di tiap kamar itu sama-sama berkarir dari bawah," jelasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: