Sederet Negara yang Benar-benar Melarang TikTok, Mana Saja?
Aplikasi berbagi video TikTok kembali mendapatkan sorotan usai anggota Kongres Amerika Serikat mengundang CEO TikTok Shou Zi Chew. Dia diminta untuk menjelaskan keamanan aplikasi media sosial tersebut.
AS juga telah mengancam akan melarang aplikasi tersebut sepenuhnya jika perusahaan tetap berada di bawah kepemilikan China. Namun sebelum AS memutuskan itu, sudah banyak negara Barat mengambil tindakan terhadap perusahaan teknologi China ByteDance.
Baca Juga: Pengguna TikTok Malah Meroket Gegara Amerika Gencar Melarang, Datanya Dibuka Juga
Banyak pihak merasa khawatir akan keamanan data yang dikumpulkan oleh TikTok. Kondisi ini yang membuat aplikasi tersebut telah dilarang di perangkat pemerintah Kanada, Belgia, Denmark, Selandia Baru, Taiwan, Inggris, dan tentu saja AS.
Uni Eropa (UE) mengatakan kepada stafnya untuk menghapus aplikasi dari ponsel dan merekomendasikan mereka menghapusnya dari perangkat pribadi tempat aplikasi resmi diinstal. India telah melarang TikTok secara langsung karena masalah keamanan. Afghanistan juga melarangnya untuk mencegah kaum muda disesatkan.
Alasan keamanan menjadi perhatian pemerintah dalam melarang mengunduh aplikasi yang muncul pertama kali pada 2016 ini. Direktur FBI Chris Wray menunjuk pada Undang-Undang Intelijen Nasional China pada 2017. Dia mengatakan aturan tersebut mewajibkan perusahaan melakukan apa pun yang diinginkan pemerintah dalam hal menunjukkan informasi kepada mereka atau berfungsi sebagai alat bagi pemerintah China.
TikTok mengumpulkan jenis data pengguna yang sama dengan banyak perusahaan media sosial lainnya seperti Facebook dan Instagram. Data ini termasuk nama, usia, nomor telepon, alamat surel, dan foto. TikTok juga memiliki alat yang merekomendasikan klip video untuk ditonton pengguna yang disebut "Untuk Anda".
"Ini terlihat seperti algoritme yang sangat efektif. (Ini memiliki) potensi besar untuk menyebarkan pengaruh dan propaganda China di kalangan anak muda di Barat," kata Profesor dari Universities of Cambridge dan Edinburgh Ross Anderson dikutip dari BBC.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait:
Advertisement