Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Guru Besar UI Sebut Dalam RUU Kesehatan Jangan Sembarangan Gunakan Omnibus Law

Guru Besar UI Sebut Dalam RUU Kesehatan Jangan Sembarangan Gunakan Omnibus Law Fraksi PKS DPR Menolak Pengesahan Perppu Cipta Kerja dan Walkout dari Rapat Paripurna | Kredit Foto: Andi Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejumlah pakar hukum di Indonesia tengah menyoroti tren saat ini dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law. Hal ini diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Maria Farida Indrati.

Dia mengatakan, hukum yang berkembang di Indonesia banyak dipengaruhi oleh hukum Belanda.

Bahkan masih ada produk hukum Belanda yang usianya sudah ratusan tahun, tapi masih digunakan di Indonesia antara lain KUHP dan KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), serta beberapa UU lain.

Seharusnya, kata dia, semua peraturan warisan Belanda itu diganti sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat terkini. Prof. Maria menyoroti tren saat ini dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law.

Misalnya, UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sekarang diganti Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Beleid itu berdampak pada berbagai ketentuan dalam 78 UU yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. UU Cipta Kerja tidak mengubah seluruh UU terdampak, tapi hanya mengubah sebagian kecil atau beberapa pasal dalam UU tertentu saja.

Persoalannya, jika UU terdampak dalam UU Cipta Kerja itu diubah, apakah pasal yang ada dalam UU Cipta Kerja juga diubah? Prof. Maria sejak awal mengkritik metode omnibus law yang digunakan untuk UU Cipta Kerja.

Menurutnya, metode omnibus law hanya bisa digunakan untuk UU yang memiliki tema atau latar belakang isu yang sama. Persoalan ini hampir serupa dengan berbagai peraturan Belanda yang masih digunakan di Indonesia. Padahal beberapa UU telah diterbitkan, tapi peraturan lamanya tidak dicabut.

Sekarang pemerintah dan DPR juga menggunakan metode omnibus untuk UU lainnya, misalnya RUU Kesehatan. Materi yang diatur dalam RUU Kesehatan juga mirip UU Cipta Kerja yakni ada UU terdampak tidak memiliki tema yang sama.

"Pembentukan UU menggunakan omnibus harus benar-benar dikaji jangan sampai UU terdampak menjadi berantakan,” ujarnya.

Prof Maria mengingatkan agar tidak memaksakan beberapa UU yang berbeda tema untuk diubah substansinya melalui mekanisme omnibus law. Membuat UU juga tidak perlu dipaksakan jika memang tidak dibutuhkan.

Senada dengan dia, Dosen FH UI, Fitriani Ahlan Sjarif, menyebut obesitas regulasi muncul karena banyak lembaga yang memilki kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan.

Guna meminimalkan regulasi yang berlebihan seharusnya ditentukan mana lembaga yang memiliki kewenangan menerbitkan aturan.

Fitriani menilai omnibus law yang digunakan untuk membentuk UU Cipta Kerja bukan contoh yang baik untuk teknik pembentukan perundang-undangan.

UU yang masuk dalam omnibus UU Cipta kerja sangat beragam sama seperti omnibus RUU Kesehatan dimana UU yang masuk tak hanya sektor Kesehatan, tapi juga jaminan sosial.

“Ketimbang menggunakan metode omnibus lebih baik pembentukan UU menggunakan cara yang sederhana, sehingga hasilnya bisa mudah dibaca masyarakat umum,” pungkasnya.

Metode Omnibus Law Bukan Berarti Bebas

Penggunaan metode omnibus law bukan berarti bebas memasukan berbagai macam Undang-Undang (UU) dalam satu UU. Tapi UU yang masuk dalam satu omnibus harus memiliki tema dan latar belakang yang sama.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Prof. Bayu Dwi Anggono, menilai pemerintah latah dalam menggunakan metode omnibus law.

Padahal omnibus law yang digunakan untuk menerbitkan sejumlah UU tergolong bermasalah. Metode omnibus law seharusnya digunakan hanya untuk UU yang memiliki tema dan latarbelakang yang sama.

Tapi UU 11/2020 memuat 78 UU yang masing-masing memiliki latar belakang dan tema yang berbeda. Bukannya mengevaluasi dan membenahi metode omnibus law yang digunakan, pemerintah malah berencana menerbitkan RUU Kesehatan yang isinya memuat UU yang saling berbeda tema dan latarbelakang.

Misalnya, RUU Kesehatan tak hanya mengurusi terkait layanan bidang kesehatan tapi juga menyasar jaminan sosial dan kelembagaan BPJS baik BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

“Omnibus itu bukan berarti bebas (memasukan berbagai macam UU dalam satu UU,-red). Latah omnibus ini kalau tidak ditata dengan baik akan menimbulkan masalah ke depan,” ujarnya dalam seminar bertema “Mewujudkan Ketertiban Peraturan Perundang-undangan Dalam Rangka Pembangunan Hukum Berkelanjutan,” Kamis (16/03/2023).

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya, Indah Dwi Qurbani, juga mengingatkan UU adalah landasan hukum dari kebijakan yang akan diterbitkan pemerintah.

Oleh karena itu pembentukan UU harus melalui prosedur yang jelas, sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pembentukan UU mulai dari penyusunan, pembahasan, sampai pengundangan, menurut Indah, tak bisa lepas dari kekuasaan. Walau prosedurnya RUU yang akan dibahas DPR dan pemerintah terlebih dulu masuk program legislasi nasional (Prolegnas), tapi pada praktiknya tak selalu begitu.

RUU yang tidak masuk Prolegnas bisa dilakukan pembahasan intensif oleh pemerintah dan DPR misalnya revisi UU Minerba.

Para pakar hukum sepakat bahwa penggunaan metode omnibus law secara tidak hati-hati bisa membuat UU menjadi berantakan. Metode omnibus law yang digunakan untuk membentuk UU Cipta Kerja bukan contoh yang baik untuk teknik pembentukan perundang-undangan.

Pembahasan RUU Kesehatan Harus Sinkron Antara Baleg, DPR, dan Kementerian Kesehatan

Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago mengatakan, pihaknya menyambut baik penugasan terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

Penugasan itu tertera dalam surat Pimpin DPR dengan nomor T/160/PW01/02/2023 tertanggal 14 Februari 2023 yang ditandatangani Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.

Menurutnya, fungsi Baleg adalah melakukan sinkronisasi terhadap hasil bahasan Komisi IX dengan Kementrian Kesehatan sebagai perwakilan parlemen dan pemerintah. Sehingga, Baleg tak langsung membahasa RUU tersebut seperti yang dilakukan saat pembahasan RUU Cipta Kerja (Ciptaker).

"Posisi ini sudah benar, agar parlemen tidak mengulangi kembali kesalahan yang sama sebagaimana RUU Ciptaker yang justru dibahas langsung di Baleg, tidak melalui Komisi terkait," kata Irma.

Dia memastikan, Komisi IX akan segera melaksanakan pembahasan RUU Kesehatan, agar dapat segera dirampungkan dan disampaikan ke Baleg untuk dilakukan sinkronisasi. Hal ini sekaligus menepis adanya dugaan kongkalingkong antara pemerintah dan Baleg.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: