Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Memahami Status Quo di Masjid Al-Aqsa, Titik Api yang Picu Konflik Israel-Palestina

Memahami Status Quo di Masjid Al-Aqsa, Titik Api yang Picu Konflik Israel-Palestina Kredit Foto: Reuters/Ammar Awad
Warta Ekonomi, Yerusalem -

Status hukum kompleks Masjid Al-Aqsa Yerusalem, yang dikenal orang Yahudi sebagai Temple Mount, adalah titik api yang berulang dalam konflik Israel-Palestina. Bagi Islam, kompleks ini merupakan masjid suci ketiga, selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Pekan lalu, polisi Israel dilaporkan menggerebek Masjid Al-Aqsa, menyerang dan menangkap jemaah Palestina yang berada di dalam ruang shalat. Roket ditembakkan ke Israel dari Gaza dan Lebanon sebagai pembalasan, yang menyebabkan gejolak singkat dalam kekerasan.

Baca Juga: Serangan Israel ke Masjid Al-Aqsa Bikin Uni Emirat Arab Ikut Rapat dengan OKI

Untuk memahami bagaimana satu serangan polisi dapat memicu perang, seseorang harus memahami status quo yang mengatur kompleks Masjid Al-Aqsa.

Apa itu status quo?

Seorang ahli hukum Palestina di kota dan kompleks tersebut, Khaled Zabarqa, menyebut Israel tidak memiliki kedaulatan atas Yerusalem (Timur) dan karenanya tidak memiliki kedaulatan atas Al-Aqsa yang berada di Yerusalem Timur yang diduduki Israel.

Atas hal itu, hukum internasional menyatakan bahwa Israel tidak berwenang untuk menerapkan status quo apa pun.

Bagi Palestina dan Wakaf, badan yang ditunjuk Yordania untuk mengelola kompleks Al-Aqsa, status quo berakar pada administrasi situs di bawah Kekaisaran Ottoman.

Menurut Nir. Hasson, jurnalis Haaretz yang meliput Yerusalem, hal ini menyatakan bahwa umat Islam memiliki kendali eksklusif atas Al-Aqsa.

Namun, orang Israel melihat hal-hal ini secara berbeda, meskipun hukum internasional tidak mengakui upaya apa pun oleh kekuatan pendudukan untuk mencaplok wilayah yang telah didudukinya.

“Status quo yang dibicarakan orang Israel sama sekali berbeda dari status quo yang dibicarakan oleh Wakaf dan Palestina,” kata Hasson dikutip di Al Jazeera, Selasa (11/4/2023).

Bagi Israel, status quo mengacu pada perjanjian 1967 yang dirumuskan oleh Moshe Dayan, mantan menteri pertahanan Israel. Setelah Israel menduduki Yerusalem Timur, Dayan mengusulkan pengaturan baru berdasarkan perjanjian Ottoman.

Status quo itu menyebut pemerintah Israel mengizinkan Badan Wakaf untuk mempertahankan kontrol sehari-hari di wilayah tersebut, serta hanya Muslim yang diizinkan untuk sholat di sana. Namun, polisi Israel mengontrol akses situs tersebut dan bertanggung jawab atas keamanan, yang mana non-Muslim diizinkan mengunjungi situs tersebut sebagai turis.

Seorang pengacara dan pakar tempat-tempat suci di Israel, Shmuel Berkovits, mengatakan status quo yang didirikan pada 1967 tidak dilindungi oleh hukum Israel mana pun. Bahkan, pada 1967, Dayan menetapkan status quo tanpa otoritas pemerintah.

Sejak 1967, undang-undang, tindakan pengadilan, serta pernyataan pemerintah Israel menciptakan kerangka kerja untuk status quo ini. Meskipun tidak ada undang-undang Israel yang melarang orang Yahudi berdoa di Al-Aqsa, Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa larangan tersebut dibenarkan untuk menjaga perdamaian.

Bagi banyak orang Israel, aturan ini dianggap sebagai tindakan “murah hati”, mengingat kemenangan mereka dalam perang 1967.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Advertisement

Bagikan Artikel: