Biasa Jadi 'Anak Baik', Muhaimin Iskandar Langsung Berubah Galak Kalau Ditanya Soal Ini...
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar biasanya menjadi "anak baik". Namun, untuk urusan kereta cepat, politisi yang akrab disapa Imin ini galak. Dia menolak maunya China agar APBN bisa menjadi jaminan utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
Imin mengaku mendukung sikap Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang lebih memilih PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) untuk menjamin utang tersebut. "Saya kira bagus. Risikonya terlalu besar kalau sampai APBN kita tersandera," ujar Imin, di Jakarta, kemarin.
Wakil Ketua DPR meminta agar Pemerintah memastikan proyek KCJB benar-benar menggunakan skema business to business (B2B). Dengan begitu, APBN tidak tersandera.
Imin merasa, saat ini APBN cukup terbebani karena telah memberikan dana segar ke sejumlah perusahaan pelat merah. Beban APBN akan lebih besar lagi jika harus menanggung utang proyek KCJB yang terus membengkak.
"Perlu dipastikan bahwa proyek KCJB seharusnya B2B. Saya kira cukuplah dana PMN (Penyertaan Modal Negara) disuntikkan. Jangan lagi bebani APBN sebagai penjamin utang," tegasnya.
Imin tak bisa membayangkan jika APBN digunakan sebagai penjamin utang proyek KCJB. Selain beban fiskal akan melesat, negara juga membutuhkan puluhan tahun untuk membayar beban utang proyek ini.
"Padahal kita tahu masih banyak diperlukan investasi, proyek-proyek besar di daerah-daerah yang saat ini masih berjalan. Jadi, pada intinya hindari betul APBN kita jadi jaminan utang," pesan Imin.
Baca Juga: Elektabilitas Prabowo Subianto Terus Menanjak, Muhaimin Iskandar: Ini Tanda Juara Pilpres 2024!
Pekan lalu, Luhut terbang ke China untuk membicarakan pendanaan pembangunan kereta cepat. Setelah pulang dari Negeri Tirai Bambu, Luhut mengungkapkan bahwa China meminta utang untuk membiayai bengkak KCJB dijamin APBN. Namun, saat itu ia menjelaskan kepada China bahwa proses sangat panjang jika menggunakan APBN. Sehingga, skema utang diarahkan kepada PT PII sebagai penjamin.
Agenda Luhut ke China untuk menegosiasikan bunga pinjaman ke China Development Bank (CDB) yang membiayai proyek KCJB. Awalnya, bunga yang ditawarkan mencapai 4 persen. Setelah dinegosiasi, China menurunkan bunga tersebut menjadi 3,4 persen. Namun, Pemerintah Indonesia ingin bunganya di angka 2 persen.
Meski begitu, Luhut menganggap bunga yang ditawarkan China sudah murah dibandingkan bunga pinjaman di tempat lain. "Kalau mau pinjam keluar juga bunganya bisa 6 persen. Jadi, ya kalau bisa 3,4 persen," ungkapnya.
Deputi Bidang Koordinasi Pertambangan dan Investasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, total pinjaman mencapai 560 juta dolar AS atau sekitar Rp 8,2 triliun dengan tenor 30 tahun. Nantinya, uang ini akan diberikan kepada PT KAI sebagai pimpinan konsorsium Indonesia di PT KCIC.
Jika ditotal, pembengkakan biaya proyek KCJB sendiri mencapai 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 17,7 triliun. Jumlah itu, sebagian dipenuhi dengan pinjaman ke CDB. Sisanya dipenuhi dari penyetoran modal tambahan ke PT KCIC yang salah satunya dipenuhi dengan suntikan PMN.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menganggap, permintan China tidak masuk akal. Karena proyek ini harusnya komersil dan target penumpang kereta cepat juga bukan orang miskin yang butuh subsidi. Ia mengungkit saat pembuatan feasibility study (FS).
"Harus diwaspadai apakah ini skenario jerat utang atau debt trap kreditur China? Jadi, seolah-olah BUMN yang menanggung utang, tapi sebenarnya BUMN dijamin APBN. Ini namanya utang tersembunyi yang berbahaya bagi kelangsungan APBN," ulas Bhima, tadi malam.
Mirisnya, risiko jerat utang akan membuat ekonomi suatu negara tergantung oleh kreditur. Karena hampir sulit utangnya dilunasi, beban bunga dan cicilan pokok ditanggung seluruh pembayar pajak. Dalam kondisi kemampuan bayar terus turun, dan aset proyek akan dikelola oleh pihak asing.
Bhima meminta, daya tawar Pemerintah dalam negosiasi dengan kreditur jangan lemah. Masalah pembengkakan biaya harusnya tanggung jawab kreditur dan konsorsium. APBN harus dijauhkan dari meja perundingan.
"Tidak boleh sebut-sebut APBN. Toh China juga mendapat banyak konsesi nikel di Indonesia, harusnya proyek yang dibiayai China ikut jadi beban China. Bagaimanapun juga kereta cepat adalah proyek mercusuar di bawah Belt Road Initiative atau jalur sutera baru yang menjadi tanggung jawab China," terangnya.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, jika Pemerintah menyetujui permintaan China, itu jelas melanggar konstitusi. APBN harus ditetapkan undang-undang, dan mendapat persetujuan DPR.
Lagipula, proyek KCJB yang digarap China, lebih mahal ketimbang yang ditawarkan Jepang. Hitungan Anthony, total biaya kereta cepat China sudah termasuk biaya bunga utangnya 11,75 persen, lebih mahal ketimbang Jepang. Tepatnya 6,98 miliar dolar AS berbading 6,246 miliar dolar AS.
Ia juga memprediksi, adanya kerugian negara akibat pembengkakan biaya 1,176 miliar dolar AS. Dengan 60 persen atau 705,6 juta dolar AS menjadi tanggungan Indonesia. "Kalau biaya bunga dihitung selama 40 tahun masa pinjaman proyek, kerugian ini jauh lebih besar lagi," ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Advertisement