Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pulau Pohon untuk Keanekaragaman Hayati di Perkebunan Kelapa Sawit

Pulau Pohon untuk Keanekaragaman Hayati di Perkebunan Kelapa Sawit Kredit Foto: Antara/Makna Zaezar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pepohonan yang ditanam di tengah perkebunan kelapa sawit yang menyerupai pulau dan disebut sebagai "pulau pohon" ternyata dapat meningkatkan keanekaragaman hayati secara signifikan dalam waktu lima tahun. Peningkatan keanekaragaman hayati ini tanpa mengurangi kemampuan produksi kelapa sawit.

Hal ini telah dibuktikan melalui studi jangka panjang yang dipimpin oleh Pusat Penelitian Kolaboratif Ecological and Socio-Economic Functions of Tropical Lowland Rainforest Transformation Systems - Sumatra, Indonesia (EFForTS), Universitas Göttingen, Jerman.

Baca Juga: Dalam Eurasian Economic Forum 2023 di Moskow, GAPKI Promosikan Sawit Indonesia

Kegiatan penelitian bekerja sama dengan beberapa kampus Indonesia, seperti IPB University dan Universitas Jambi. Para peneliti melihat adanya kehilangan keanekaragaman hayati akibat budi daya kelapa sawit yang intensif sehingga mereka menanam pulau-pulau pohon di pulau Sumatera, tepatnya di Jambi. Hasil kajian ini telah dipublikasikan di Jurnal Nature, salah satu jurnal ilmiah tertua dan bereputasi tinggi di dunia.

Konversi hutan tropis menjadi perkebunan kelapa sawit mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis yang signifikan. Perkebunan kelapa sawit di dunia saat ini berkisar 21 juta hektare dengan mayoritas berada di Indonesia dan Malaysia. Untuk mengurangi dampak negatif lingkungan, para peneliti membuat 52 pulau pohon dari enam spesies pohon lokal di perkebunan kelapa sawit industri. Upaya ini ternyata merupakan strategi restorasi ekologis yang menjanjikan.

Awalnya, tim peneliti memprediksi bahwa hasil panen akan menurun dari waktu ke waktu karena pulau-pulau pohon tersebut mengonsumsi sumber daya untuk pertumbuhan dengan mengorbankan kelapa sawit.

"Namun, ini tidak terjadi, bahkan lima tahun setelah dimulainya eksperimen, dan itu tanpa meningkatkan penggunaan pupuk buatan di pulau-pulau pohon," ungkap penulis pertama Prof Delphine Clara Zemp, yang saat ini di Universitas Neuchâtel, Swiss, dikutip dari siaran pers yang diterima, Rabu (31/5/2023).

"Hasil studi menunjukkan bahwa industri dapat memperoleh manfaat dari langkah ini. Ada potensi nyata untuk mengembangkan praktik restorasi ekologis ini dalam skala besar," tambahnya.

"Umumnya, studi ekologi tentang kelapa sawit terbatas pada pelaporan hilangnya keanekaragaman hayati dan degradasi ekosistem," jelas rekan penulis, Prof Holger Kreft, Kepala Kelompok Penelitian Keanekaragaman Hayati, Makroekologi dan Biogeografi di Universitas Göttingen, Jerman.

"Pendekatan kami terhadap restorasi ekologis ini melangkah lebih jauh dan unik karena terjadi dengan latar belakang perkebunan kelapa sawit skala industri (140 hektare). Dengan desain eksperimen yang ketat, kami menentukan komposisi dan ukuran pulau optimal yang dapat menghasilkan restorasi ekologis terbaik," kata Prof Holger Kreft.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: