Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

DPR dan Petani Tembakau Sikapi Polemik Pasal-Pasal Pertembakauan dalam RUU Kesehatan

DPR dan Petani Tembakau Sikapi Polemik Pasal-Pasal Pertembakauan dalam RUU Kesehatan Kredit Foto: Antara/Anis Efizudin
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dewan Perwakilan Rakyat  Republik Indonesia (DPR RI) dan Petani Tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dengan tegas menolak adanya selipan pasal-pasal tentang pertembakauan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Pasal tersebut antara lain menyebutkan, rokok atau tembakau disamakan dengan narkoba. Tembakau memberikan nilai positif dan menguntungkan negara sementara narkoba membahayakan kesehatan sekaligus merugikan negara.

“Kalau narkoba itu tidak ada nilai ekonominya. Narkoba jelas merugikan pemakai dan negara. Kalau tembakau dan industri rokok, ada nilai ekonomi dan nilai  sosialnya. Beda jauh sekali. Inikan  ada industri tembakaunya dan inikan  jelas bahwa yang namanya tembakau itu ada dampak  positifnya untuk negara, ada menyumbang devisa negara, dan menyumbang kepentingan negara,” tegas anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI Firman Subagyo kepada pers kemarin di Jakarta.

Lebih lanjut Firman Subagyo mengatakan  Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membuat kebijakan dengan mengambil keputusan atas gugatan judicial review bahwa tanaman tembakau itu adalah tanaman halal bukan tanaman haram. Bahkan, ketika ada anggota masyarakat yang menggugat industri rokok agar tidak boleh memasang iklan, gugatan itu dibatalkan MK alias ditolak. 

Baca Juga: DPR: Pasal Tembakau di RUU Omnibus Kesehatan Bisa Membunuh Petani dan Industri

“Semua produk yang resmi ada ijin dan sebagainya itu adalah hak asasi manusia. Jadi, tidak ada satupun yang dilanggar industri   rokok maupun tembakau apalagi petani tembakau” papar Firman Subagyo. Menurut Firman Subagyo, seharusnya pemerintah berkeberatan dengan adanya sisipan pasal yang menyamakan rokok atau tembakau dengan narkoba di RUU Kesehatan. Hal ini karena negara sudah memungut cukai dari rokok yang jumlahnya hampir mencapai Rp 220 triliun, ditambah  pajak-pajak lain dari industri rokok. Firman menyayangkan, Kementrian Kesehatan justru mendukung adanya pasal tersebut. 

“Kalau rokok atau tembakau mau disamakan dengan  narkoba pertanyaan saya adalah, kapan narkoba dipakai orang Indonesia? dan kapan orang Indonesia merokok? Kalau dianggap rokok itu mematikan karena asapnya, apakah asap industri tidak lebih bahaya? Apakah asap mobil tidak berbahaya daripada rokok? Bis-bis yang lewat sekali ngepul sudah seperti rumah kebakaran. Kenapa itu tidak? Ini kan ada kepentingan-kepentingan dagang,” tanya Firman Subagyo.

Menurut Firman Subagyo, pihaknya mencurigai ada pihak-pihak tertentu yang ingin menjatuhkan ekonomi nasional, sehingga memasukan sisipan pasal 154 yang intinya berisi penyamaan narkoba dengan tenbakau ataupun rokok,. Padahal pasal tersebut tidak ada dalam rancangan awal dari RUU Kesehatan. 

“Yang jelas,  ini tidak lazim dan tidak sesuai dengan spirit UU karena UU-nya tidak membahas soal komoditi yang berdampak pada Kesehatan. Kalau  kita membahas komoditi yang berdampak pada kesehatan jangan hanya tembakau saja, gula juga kita harus dibahas, kemudian bensin, karena bensin itu penyebab daripada asap yang merusak paru-paru masyarakat. Kenapa hanya tembakau yang disasar? Kenapa begitu? Berarti ada sesuatu karena kita tahu bahwa ada persaingan keras yang namanya industri farmasi dan industri tembakau,” tegas Firman Subagyo.

Perbaikan Pelayanan Kesehatan

Menurut Firman Subagyo, latar belakang adanya RUU kesehatan yang menggunakan metode Omnibuslaw merupakan inisiasi Badan Legislasi (Baleg) DPR.  RUU tersebut tujuannya ingin menyempurnakan tata kelola pelayanan kesehatan yang sekarang ini dianggap masih kurang baik. Padahal, di RUU Kesehatan pada pelayanan kesehatan itu adalah menjadi hak masyarakat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Itu prinsip dasarnya. 

“Sekarang ini pelayanan kesehatan kita ini masih jauh dari apa yang diharapkan.  Jumlah dokter yang tersedia masih jauh daripada mencukupi. Kemudian juga untuk pengadaan kebutuhan dokter spesialis saja itu masih jauh dari pada yang kita harapkan. Seorang mahasiswa kedokteran untuk mendapatkan ijin  praktek dan  setelah menjadi dokter untuk mengambil spesialis, karena sistemnya rumah sakit rujukan yang menyelenggarakan mengambil spesialis. juga banyaknya  regulasi-regulasi yang itu seharusnya menjadi kewenangan pemerintah diambil alih oleh organisasi profesi. Nah ini yang prinsipnya harus kita sempurnakan dan kita perbaiki, agar pelayanan kesehatan bisa maksimal termasuk BPJS, dimana BPJS itu  kan kalau orang sakit itu kan dibatasi waktu sekian hari  semoga sembuh, keluar dulu baru masuk lagi,” urai Firman Subagyo.

Lebih lanjut, anggota DPR RI dari Partai Golkar ini memaparkan, dalam RUU Kesehatan ini DPR RI mengubah supaya undang undang ini bisa memberikan pelayanan yang terbaik termasuk penggunaan BPJS. Tidak boleh lagi  ada orang sakit disuruh pulang dan nanti disuruh balik lagi, masuk lagi. 

“Waktu itu kami juga mengundang kementerian Kesehatan. Yang hadir adalah Wakil Menteri Kesehatan yang  menjelaskan bahwa tata kelola atau tata laksana daripada  pelayanan kesehatan jauh daripada apa  yang diharapkan. Oleh karena itu perlunya  penataan ulang,” ujar Firman Subagyo.

Menurut Firman Subagyo,  RUU ini ini sama sekali tidak membahas komoditas yang berdampak pada kesehatan. Entah kenapa, tiba-tiba di DIM (Daftar Isian Masalah) pemerintah  menyebutkan atau memasukkan pasal yang menyebutkan bahwa tembakau itu mengandung zat aditif yang disetarakan dengan narkoba. 

“Itu tidak benar. Karena dalam RUU ini tidak mengatur komoditi. RUU ini mengatur tata kelola daripada sistem pelayanan kesehatan. Oleh karena itu saya juga merasa kok pemerintah tidak paham? Artinya bahwa  kementerian kesehatan ini dapat dari mana. Itu yang kita pertanyakan. Jadi di dalam RUU Kesehatan yang namanya UU kesehatan ini sama sekali tidak mengatur yang namanya pengaturan komoditi yang berdampak terhadap masalah kesehatan. Itu tidak pada tempatnya. Kalau RUU kesehatannya kebutuhannya harus diperbaiki tapi kalau menyinggung masalah komoditi saya tidak setuju, karena bukan ranahnya,” tegas Firman Subagyo.

Atas dasar itu, menurut Firman Subagyo, pihak Fraksi Partai Golkar sudah secara resmi meminta agar menghapuskan pasal 154 yang berisi pernyataan rokok mengandung zat adiktif atau mengandung narkoba.  Bunyi pasal tersebut tidak benar sehingga harus dicabut.

“Kami sudah minta pada anggota fraksi kita yang ada di sana untuk menghapuskan pasal itu. Kalau tembakau itu kan ada nilai ekonominya, ada nilai sosialnya. Tembakau itu juga menghasilkan cukai  rokok yang cukup besar nilainya sampai 178 trilyun bahkan sekarang 220 trilyun lebih. Kalau industri rokok disamakan dengan narkoba bisa berdampak pabrik rokok akan tutup. Karyawan kita akan kerja dimana? Petani kita akan dipindah kemana? Golkar mengedepankan kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan yang namanya  petani harus dilindungi,” tegas Firman Subagyo.

Sependapat dengan Firman Subagyo, Ketua APTI Jawa Barat Suryana menegaskan, pihaknya tidak menolak RUU Omibuslaw Kesehatan. Yang ditolak adalah pasal 154 yang salah satunya adalah menyebutkan tembakau ataupun rokok mengandung zat adiktif yang berbahaya sehingga rokok disamakan dengan tembakau. 

“Kami dengan tegas menolak pasal yang menyamakan Narkoba sama dengan rokok atau tembakau. Kami meminta itu segera dicabut. Tapi Undang undang kesehatannya kami terima," tegas Ketua APTI Jawa Barat Suryana.

Lebih lanjut Suryana menegaskan, kalau pasal 154 tetap dimasukan dalam RUU Kesehatan tersebut, keberlangsungan industri tembakau dapat terancam dan akhirnya akan berdampak pada para petani tembakau. 

“Kami meminta pemerintah tidak bersikap munafik. Uang pajak dari industri hasil tembakau yang berjumlah ratusan triliun diambil digunakan untuk pembangunan. Tapi industri rokok dan tembakaunya justru dimatikan, bahkan disamakan dengan narkoba. Itu tidak benar. Itu bukan hanya merugikan rakyat Indonesia khususnya petani tembakau dan pekerja industri rokok tapi juga pemerintah. Karena itu, kami meminta pasal 154 dicabut. Jika tidak dicabut, hal ini  akan memunculkan kemarahan dari petani dan pekerja industri tembakau di seluruh Indonesia,” tegas Suryana.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Advertisement

Bagikan Artikel: