Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menilai kinerja Kementerian ESDM tahun 2023 belum sesuai harapan.
Karena itu Mulyanto mendesak Kementerian ESDM melakukan akselerasi kerja agar target kinerja tersebut benar-benar dapat dicapai.
"Kami mendesak Kementerian ESDM untuk terus meningkatkan kinerja sehingga masyarakat semakin sejahtera karena pembangunan energi dan sumber daya mineral yang ada. Bukan malah sebaliknya mereka terkena kutukan SDA. Di mana Masyarakatnya tetap miskin, SDA nya terkuras, dan lingkungannya hancur. Ini kan kondisi yang memprihatinkan dan tidak kita inginkan bersama," kata Mulyanto dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan seluruh jajaran Eselon I, Kementerian ESDM dengan agenda evaluasi kinerja tahun 2023 dan rencana kerja tahun 2024.
Dari indikator utama yang terlihat, lanjut Mulyanto, kinerja Kementerian ESDM belum menonjol betul. Misalnya, defisit transaksi berjalan sektor migas masih tinggi bahkan cenderung naik. Begitu pula impor BBM dan gas LPG terus meningkat.
"Ini karena lifting minyak terus turun, baik target maupun realisasinya. Visi lifting minyak 1 juta barel pada tahun 2030 cuma mimpi alias hoax. Sementara itu pembangunan kilang baru, mandeg puluhan tahun. Rencana pembangunan kilang di Bontang dan Tuban tidak jelas juntrungannya. Akibatnya, minyak yg ada dari dalam negeri sebagian diolahkan di luar negeri dan diimpor kembali ke Indonesia," jelas Mulyanto.
Di sisi lain, lanjut Mulyanto, substitusi gas LPG dengan jargas masih jalan di tempat, karena jaringan distribusinya tidak bertambah.
Sedang proyek strategis nasional DME (dimethyl ether) berupa gasifikasi batubara untuk mengganti penggunaan LPG ditinggal pergi investor AS, tidak jalan. Juga program kompor listrik untuk mengurangi kompor gas LPG, batal dilaksanakan.
"Itu baru soal defisit transaksi migas, belum lagi soal penerimaan negara dari sumber SDA yang bersifat musiman.
Penerimaan kita naik, kalau harga internasional komoditas itu naik. Bukan karena faktor intervensi manajemen negara. Itu pun masih bocor di sana-sini, karena tambang ilegal yang dibekingi aparat," imbuhnya.
Selain itu ia mengatakan dalam kasus komoditas nikel malah sangat mencolok. Investor dimanja dengan berbagai insentif dan fasilitas, mulai dari harga bijih nikel yang jauh di bawah harga internasional; bebas pajak pph badan melalui tax holiday, ppn dan pajak bea ekspor nikel olahan setengah jadi.
Belum lagi kemudahan mendatangkan mesin baru dan bekas; mendatangkan TKA, dll. Namun, Hasilnya devisa ekspor malah di parkir di luar negeri dalam bentuk dolar.
Cadangan saprolit nikel (kadar di atas 1.7 persen nikel) semakin menipis dan terkuras. Sementara yang duekspor hanya berupa NPI dan feronikel yang kadar nikelnya hanya sekitar 4 persen. Teknologi smelter dengan nilai tambah rendah, namun bebas bea ekspor.
Belum lagi dampak lingkungan yang kita khawatirkan baik dengan kebijakan ekspor pasir laut dan pembuangan limbah nikel ke laut di Maluku Utara.
"Di tengah kondisi itu, Dirjen Minerba dan Sekjen Kementerian ESDM sudah lama cuma PLT, belum definitif. Dibumbui lagi dengan kasus korupsi tunjangan kinerja dan RAB batubara yang terjadi di Kementerian, makin lengkaplah kelemahan yang ada di ESDM," tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement