Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

China Cari Pengaruh ke Negara-negara Timur, Bukti Dunia Barat Tak Lagi Jadi Pusat Geopolitik Dunia?

China Cari Pengaruh ke Negara-negara Timur, Bukti Dunia Barat Tak Lagi Jadi Pusat Geopolitik Dunia? Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Depok -

Sejak membuka diri terhadap perdagangan internasional pada masa pemerintahan Presiden Deng Xiaoping di awal tahun 1970-an, China perlahan mulai menjelma menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat dan terkuat di dunia. Hal ini kemudian membuat China menjadi kekuatan baru yang mengancam pamor negara adidaya Amerika Serikat dalam konstelasi geopolitik dunia.

Pakar Kebijakan Publik dan CEO Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menjelaskan bahwa saat ini Amerika Serikat dan negara-negara Barat khawatir saat China di bawah kepemimpinan Xi Jinping tampil sebagai aktor dalam menginisiasi dan mendamaikan konflik global.

“Tatanan dunia yang dipimpin Amerika dan Barat mengalami tremor karena tampilnya inisiatif dan diplomasi dalam China mendamaikan konflik dunia yang tak selesai. Amerika dan Barat merasa gelisah atas manuver Xi Jinping yang tampil begitu percaya diri sebagai pendamai konflik yang pelik baik di Eropa Timur maupun di Timur Tengah,” kata Achmad dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/6/2023).

Baca Juga: Beda dari Kapitalisme Negara Lain, Kapitalisme Ala China Buat Pertumbuhan Ekonomi Makin Tinggi

Sebenarnya, ia menjelaskan bahwa dunia Barat sudah mulai kehilangan kendali terhadap keadaan geopolitik dunia usai kehilangan kepercayaan masyarakat global saat Amerika Serikat memutuskan untuk menginvasi Irak pada tahun 2003. Hal ini memberikan celah bagi kekuatan baru untuk semakin memperluas pengaruh.

“Amerika menjadi negara sponsor terdepan dari demokrasi, hak asasi manusia dan mencari solusi konflik dengan rule of law, kebebasan dan rasionalitas. Namun, visi idealis dari Amerika dan Barat tersebut tercederai sejak invasi AS ke Irak sejak 20 tahun lalu. Invasi ke Irak benar-benar menjadi Game Changers bagaimana sebuah visi idealis Amerika mengubah menjadi visi dominasi dan koersi satu negara kuat kepada negara lemah. Sejak saat itu, dunia mengenal kepemimpinan tatanan dunia AS dan Barat berstandar ganda dan penuh dengan hypocrisy yang berat sebelah untuk western value, bukan eastern value,” jelasnya.

Terlebih, ia menjelaskan China saat ini sedang berambisi menjalankan inisiatif One Belt One Road (OBOR) dengan menawarkan proyek pembangunan kepada negara-negara Timur yang membutuhkan.

“Setelah inisiatif OBOR sebagai proyek pembiayaan infrastruktur yang lebih meringankan dunia berkembang dinilai berhasil, China juga me-launching inisiatif baru pada 15 Maret 2023. Inisiatif tersebut dikenal Inisiatif Peradaban Global (Global Civilisation Initiative), sebuah inisiatif bahwa negara-negara harus menahan diri untuk tidak memaksakan nilai atau model mereka sendiri pada negara lain dan akhirnya memicu konfrontasi ideologis,” ujarnya.

Sementara itu, persahabatannya dengan Rusia kemudian memperkuat posisi geopolitik China dalam menghadapi Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Hal ini terlihat dengan langkah China yang berupaya untuk membawa narasi perdamaian dalam Perang Rusia-Ukraina.

“China dan Rusia telah berhasil menyakinkan satu sama lain pentingnya kebersamaan yang damai dan kerja sama yang saling menguntungkan. China tidak mengkritik Rusia akan langkah Putin mengakuisisi enam wilayah Ukraina. China mengajak dunia untuk membangun narasi perdamaian Ukraina-Rusia melalui membangun kawasan netral pada kedua negara tersebut,” bebernya.

Lebih lanjut, dalam bidang ekonomi global, ia menjelaskan forum Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) dinilai mampu menandingi forum ekonomi negara Barat, yaitu G7.

“Rusia dan China juga menjadikan poros pertumbuhan BRICS sebagai lawan dari G7 sebagai penyeimbang kekuatan barat dalam soal investasi dan pembiayaan. Keduanya kini mencari pengaruh untuk membangun keseimbangan akan visi global tanpa dominasi nilai barat. Mereka bahkan menetapkan visi hak asasi manusia universal sendiri yang berbeda dengan hak asasi manusia universal ala barat yang mendukung LGBTQ+ yang tidak sesuai dengan nilai agama ortodox Rusia dan agama ketimuran China,” tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: