Pengurus NU: Ada Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama soal Hukum Menikah dengan Pasangan Beda Agama
Anggota Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Taufik Damas mengingatkan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum menikah dengan pasangan yang berbeda agama.
Pernyataan itu diungkap Kiai Taufik menanggapi Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Pasalnya, praktik pernikahan beda agama sebenarnya pun telah banyak terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Meskipun mungkin harus rela untuk tidak melalui proses pencatatan administratif.
"Bagi saya pribadi, orang harus menyadari bahwa soal pernikahan beda agama ini hukumnya beragam. Jangan kemudian kita terlalu menganggap itu satu pendapat tapi tidak menganggap pendapat yang lain," ucap Kiai Taufik dikutip dari nu.or.id, DKI Jakarta, Kamis (20/7/2023).
Ia juga menanggapi bunyi pasal 8 huruf f dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal ini mengatur soal beberapa larangan antara dua orang yang hendak melangsungkan pernikahan.
Di huruf f pada pasal itu berbunyi bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Menurut Kiai Taufik, pasal tersebut menyiratkan bahwa pelarangan nikah beda agama itu bersumber dari ajaran agama, sedangkan negara bertugas sebagai pencatat. Negara juga hanya mengikuti segala hal yang telah menjadi ketentuan agama.
"Kalau agama mengatakan bahwa tidak boleh menikah dengan orang beda agama, maka negara mengikuti itu. Tapi apakah larangan menikah beda agama itu hanya satu pendapat dalam Islam? Nah, itu kan ada beda pendapat di situ. Ini harus kita buka ruang diskusi. Biar keharmonisan dan juga tidak sampai terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia," tegas Kiai Taufik.
Ia lantas menganjurkan agar menikah dengan seseorang yang beragama sama. Hal ini demi mencegah gejolak sosial dan tercipta keharmonisan rumah tangga. Sebab menikah bukan hanya soal relasi kedua mempelai tetapi juga membawa serta keluarga besar keduanya.
"Kadang-kadang kan kita lihat kasus, ada orang nikah beda agama, kemudian tidak akur antar-kedua keluarga kedua pasangan. Ada juga yang ingin satu agama, pindah agama supaya sama dengan pasangannya. Ini menimbulkan gejolak di antara keluarga mereka," tutur Kiai Taufik.
Ada pula contoh kasus, orang yang hendak menikah tetapi agar dicatat oleh negara maka pindah agama.
Misalnya, seorang Kristen terpaksa pindah agama hanya agar pernikahannya dengan seorang Muslim dicatat oleh negara. Lalu menimbulkan masalah baru dengan keluarganya.
"Mungkin ada keluarga yang oke-oke saja, tapi mungkin juga tidak. Begitu juga sebaliknya, yang Kristen mau menikah dengan Muslim, lalu yang Muslim pindah agama jadi Kristen. Sebaiknya pernikahan itu tidak menyebabkan kekecewaan atau bahkan kemarahan pihak-pihak yang kita cintai yaitu keluarga," jelasnya.
"Maka saya selalu menganjurkan agar pernikahan itu sebaiknya dilakukan oleh orang yang satu agama dan satu keyakinan," pungkas Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta itu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement