Dulu Unicorn Sekarang Terancam Gulung Tikar, Ada Apa dengan WeWork?
Startup penyedia ruang kerja bersama (coworking space) asal Amerika Serikat, WeWork dikabarkan berada di ambang kebangkrutan karena kehabisan uang tunai.
Sejak pertama kali didirikan pada tahun 2010, perusahaan besutan Adam Neumann ini sempat dijuluki sebagai unicorn dengan valuasi tertinggi di dunia, yakni senilai US$47 miliar atau sekitar Rp712,6 triliun. Kabar kebangkrutan dari perusahaan ini tentu saja membuat banyak pihak terkejut lantaran nama WeWork sendiri telah tertera di gedung-gedung pencakar langit di kota besar di seluruh dunia.
Berdasarkan informasi terbuka yang tersedia, perusahaan ini dikabarkan terancam bangkrut lantaran arus kas perusahaan yang terus-menerus negatif. Hal ini menyebabkan perusahaan tersebut ragu untuk melanjutkan bisnis mereka.
"Kerugian dan arus kas negatif dari aktivitas operasional menimbulkan keraguan substansial atas kemampuan kami untuk berlanjut," kata WeWork.
Sementara itu, utang perusahaan pun kian menumpuk. WeWork juga mengaku bahwa akan terus berjuang untuk mengatasi utang yang menumpuk tersebut. Perusahaan telah mempertimbangkan beberapa alternatif untuk memperbaiki likuiditas dan profitabilitas operasional.
"Jika kami gagal memperbaiki likuiditas dan profitabilitas operasional kami, kami harus mempertimbangkan strategi alternatif, termasuk restrukturisasi atau refinancing utang, mencari utang tambahan atau pendanaan baru, mengurangi aktivitas bisnis atau menjual aset, dan langkah strategis lain, termasuk cara yang tersedia dalam regulasi bangkrut AS," ungkap WeWork.
Kinerja Keuangan Terus Negatif
WeWork dikabarkan memang telah mengalami arus kas negatif sejak tahun 2017. Berdasarkan data dari We Company’s S-1, pada tahun 2017, pendapatan WeWork tercatat sebesar US$886 juta (Rp13,5 triliun). Namun, pendapatan yang lumayan tinggi tersebut diikuti oleh kerugian yang ternyata lebih besar, yakni senilai US$993 juta (Rp15,2 triliun).
Selanjutnya pada tahun 2018, pendapatannya tercatat meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yakni di angka US$1822 juta (Rp28,8 triliun). Kerugiannya pun tak ketinggalan naik lebih dari dua kali lipat, dan tentunya lebih besar daripada pendapatannya, yakni senilai US$1.927 juta (Rp29,5 triliun).
Sementara itu, pada semester pertama tahun 2019, WeWork sempat mengalami arus kas positif, yakni pendapatan yang diterima jauh lebih banyak dibandingkan kerugiannya. Pendapatannya di angka US$1.535 juta (Rp23,5 triliun), sedangkan kerugiannya berada di angka US$905 juta (Rp13,8 triliun).
Dalam laporan yang ditulis analis Bernstein Chris Lane dan Samuel Chen, pada akhir Juni 2019 WeWork memiliki uang tunai US$2,5 miliar (Rp38,2 triliun). Pada saat itu, WeWork memang tengah melakukan pembakaran uang besar-besaran untuk mengekspansi bisnis mereka. Tercatat, per kuartal, WeWork dikabarkan membakar uang mereka hingga US$700 juta (Rp9,8 triliun). Uang tersebut digunakan untuk mengekspansi bisnis ke banyak negara dan memberikan diskon besar-besaran untuk menarik minat pelanggan.
Namun, sayangnya, pembakaran uang yang dilakukan perusahaan tersebut tidak membuahkan hasil baik. Pada tahun 2020, terjadi pandemi Covid-19 yang menyebabkan bisnis perusahaan ini tidak berjalan dengan baik. Mengingat, WeWork menyediakan ruang kerja bersama, tetapi saat pandemi semua pekerjaan dialihkan ke sistem Work from Home (WFH) yang membuat WeWork sepi pengunjung.
Tercatat pada tahun 2020, valuasi WeWork turun hingga 90%, yakni menjadi US$2,9 miliar (Rp44,3 triliun). Selanjutnya pada kuartal I tahun 2021, perusahaan tersebut mencatatkan kerugian sebesar US$2,06 miliar (Rp31,5 triliun).
Efek pandemi terus berlanjut hingga semester I-2023, WeWork mencatatkan kerugian bersih mencapai US$700 juta (Rp10,7 triliun), setelah sebelumnya pada tahun 2022 juga mengalami kerugian sebesar US$2,3 miliar (Rp35,2 triliun). Sementara utang jangka panjang WeWork diakumulasikan mencapai angka US$2,91 miliar (Rp44,5 triliun).
Sempat Dapat Dukungan Softbank
Meskipun mengalami kerugian yang besar, WeWork dinilai mengalami perkembangan yang cukup pesat sejak pertama kali didirikan. Nilai pendapatannya yang terus tumbuh dari tahun ke tahun membuat para investor berani mengucurkan dana segar kepada perusahaan coworking space tersebut.
Beberapa investor yang tercatat antara lain JP Morgan Chase & Co, Rekanan Harga T Rowe, Manajemen Wellington, Goldman Sachs Group, Harvard Corp, hingga Benchmark. Tidak hanya itu, investor-investor dari China pun turut tertarik untuk berinvestasi di WeWork, seperti Hony Capital dan Legend Holdings yang telah menyuntikkan dana sekitar US$10 miliar (Rp153,1 triliun).
Selain itu, grup konglomerasi asal Jepang, Softbank bahkan menjadi investor terbesar di perusahaan tersebut. SoftBank disebut-sebut telah menggelontorkan dana sekitar US$10 miliar atau sekitar Rp141 triliun.
Selama berkali-kali mengalami kerugian, WeWork tercatat sudah banyak dibantu Softbank untuk tetap bertahan. Seperti pada tahun 2019, ketika WeWork terancam bangkrut, Softbank dengan gesit mengucurkan dana segar kembali senilai US$6,5 miliar (Rp99,5 triliun) kepada perusahaan tersebut. Hal tersebut dilakukan dengan harapan WeWork dapat bangkit dari kerugian.
Namun, sayangnya, harapan tersebut nihil. WeWork kembali mencatatkan kerugian besar hingga membuat Softbank untuk pertama kalinya melaporkan kerugian bersih tahun fiskal 2018 sebesar US$8,9 miliar (Rp136,2 triliun).
CEO Softbank, Masayoshi Son sendiri mengaku telah menyesal berinvestasi di WeWork. Ia mengakui investasinya di perusahaan tersebut sebagai tindakan ‘kebodohannya’.
"Ini adalah kebodohan saya untuk berinvestasi di WeWork. Saya salah," ungkap Son dikutip dari Business Insider Singapore, Selasa (22/8/2023).
IPO Terburu-Buru dan Kontroversial
Tidak hanya mendapat kucuran dana dari investor-investor kenamaan di atas, WeWork juga mendapatkan suntikan dana setelah melantai di bursa saham (Initial Public Offering/IPO).
Sebelum akhirnya berhasil melantai ke bursa, WeWork sempat mengalami kegagalan terlebih dahulu. WeWork diketahui telah menerbitkan laporan keuangannya pertama kali pada tahun 2019. Laporan keuangan yang diterbitkan untuk publik tersebut mendapat sentimen negatif karena pengeluaran yang tinggi dan "hubungan bisnis aneh" antara Neumann dan perusahaan.
Rencana IPO tersebut pun gagal, yang pada akhirnya Softbank mengambil alih mayoritas kendali di WeWork dengan menyuntikkan dana lagi. Setelah memegang kendali, Softbank pun mengusir Neumann dari perusahaan tersebut.
Selanjutnya, setelah merger dengan perusahaan cangkang berbentuk SPAC, WeWork akhirnya melantai di bursa saham pada tahun 2021. Saham WeWork sempat mengalami lonjakan hingga 13% dan dikabarkan bahwa WeWork mendapatkan dana segar senilai US$1,3 miliar (Rp19,9 triliun) dari IPO tersebut.
Namun, sayangnya, kondisi tersebut tidak bertahan lama. WeWork kembali mengalami kerugian. Hingga pada tahun 2023, saham WeWork terus mengalami kemerosotan dan dijual dengan harga di bawah US$1 (Rp15.310). Hal tersebut membuat WeWork terancam delisting dari bursa saham.
WeWork dikabarkan telah melakukan upaya untuk mempertahankan agar tidak delisting, seperti dengan cara melakukan reverse stock split atau penggabungan satu untuk 40 saham yang beredar. Ini artinya setiap 40 saham WeWork akan ditukar dengan satu lembar saham, dengan syarat harus tetap mempertahankan harga saham senilai US$1 (Rp15.310) agar tidak delisting dari bursa.
Upaya tersebut dikabarkan memberikan hasil yang nihil. Harga saham WeWork justru dikabarkan makin ambles dan kabar terakhir menunjukan harga sahamnya hanya senilai 12 sen atau Rp2.145 saja per lembar. Hal tersebut membuat kemungkinan kebangkrutan perusahaan penyedia ruang kerja ini semakin besar.
Baca Juga: Punya Coworking Space Baru, BSIM Hadirkan Work From Anywhere bagi Pegawainya
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement