Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Survei Nasional Menunjukkan 98% Masyarakat Indonesia Menilai Krisis Iklim Nyata Terjadi

Survei Nasional Menunjukkan 98% Masyarakat Indonesia Menilai Krisis Iklim Nyata Terjadi Kredit Foto: Instagram/jktinfo
Warta Ekonomi, Jakarta -

CELIOS (Center of Economic and Law Studies) bersama Unitrend telah menginisiasi survei nasional yang bertujuan untuk memahami bagaimana krisis iklim dipersepsikan masyarakat. Survei tersebut telah diikuti oleh 1.245 individu yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia termasuk daerah pedesaan, pinggiran kota, maupun perkotaan.

Peneliti Institute for Policy Development, Rizki Ardinanta, memaparkan hasil survei yang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia merasa bahwa krisis iklim adalah masalah yang nyata dan memprihatinkan. Bahkan, angka ini mencapai 98%, menunjukkan tingginya tingkat kesadaran tentang isu ini di kalangan penduduk Indonesia.

“Ternyata lumayan besar, 98% masyarakat menyatakan bahwa krisis iklim adalah hal yang nyata di Indonesia. Jadi, masyarakat Indonesia mayoritas atau 98% itu mengalami atau merasakan krisis iklim merupakan suatu hal yang nyata,” jelas Rizki, dikutip dari kanal Youtube Celios_thinktank pada Senin (11/09/2023).

Baca Juga: IMF Puji Indonesia Lestarikan Mangrove untuk Atasi Krisis Iklim

Menurut Rizki, hasil survei juga memaparkan bahwa persepsi tentang krisis iklim berbeda-beda tergantung pada lokasi geografis. Krisis iklim dirasakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali di Bali dan Nusa Tenggara

“Setelah kami teliti ternyata terdapat anomali suhu juga di Nusa Tenggara yang itu lebih rendah dibandingkan dengan pulau-pulau yang lain. Pulau lain seperti Kalimantan, Papua, Sulawesi itu 100% responden menanggapi bahwa krisis iklim itu nyata,” ujar Rizki.

Tidak hanya berdasarkan geografis, survei ini juga memperlihatkan perbedaan persepsi berdasarkan generasi. Generasi muda, terutama Generasi Z yang berusia di bawah 24 tahun, cenderung lebih kritis terhadap respons pemerintah terhadap krisis iklim.

Sebanyak 24% dari mereka menyatakan bahwa pemerintah belum memiliki kebijakan yang memadai untuk mencegah krisis iklim. Sementara itu, 46% dari generasi milenial yang berusia 25-44 tahun juga berpendapat serupa. Hal ini menggambarkan pentingnya melibatkan generasi muda dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

“Dari studi ini menunjukkan potensi anak muda untuk mengawal kebijakan transisi energi ini sangat besar. Jadi, bisa dimanfaatkan untuk mengawal proses transisi energi, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan juga gerakan-gerakan yang ada,” tegasnya.

Lebih lanjut, survei ini mengungkapkan bahwa sekitar 81% masyarakat Indonesia setuju bahwa pemerintah perlu mendeklarasikan kondisi darurat iklim sebagai upaya serius dalam mengatasi masalah ini. 

Namun, terdapat perbedaan berdasarkan lokasi tempat tinggal. Masyarakat perkotaan (89%) dan pinggiran kota (88%) cenderung lebih setuju dengan ide deklarasi darurat iklim daripada masyarakat pedesaan (74%).

“Lingkungan pedesaan dengan angka 74% masih tinggi, tetapi masih ada 26% yang menyatakan belum setuju,” tambahnya.

Salah satu temuan penting lainnya adalah bahwa hampir 60% masyarakat merasa pesimis terkait kapasitas pemerintah untuk melakukan transisi energi yang diperlukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Di sisi lain, beberapa masyarakat yang tetap optimis terhadap kapasitas pemerintah.

“Masyarakat yang bekerja di sektor pertanian sebagai pekerja bebas menjadi kelompok masyarakat yang paling optimis dengan kapasitas pemerintah melakukan transisi energi,” pungkas Rizki.

Baca Juga: Menko Luhut Ajak Petinggi Bisnis Dunia Atasi Krisis Iklim Global Menuju Dekarbonisasi

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nevriza Wahyu Utami
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: