Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hippindo Harapkan Kesetaraan Aturan Izin Usaha & Perpajakan Bisnis Offline Maupun Online

Hippindo Harapkan Kesetaraan Aturan Izin Usaha & Perpajakan Bisnis Offline Maupun Online Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Industri ritel dan perdagangan telah mengalami perubahan signifikan selama beberapa tahun terakhir, terutama dengan munculnya teknologi dan platform e-commerce

Peningkatan penjualan online juga menjadi sorotan. Yongky Susilo, Dewan Penasehat Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), menjelaskan bahwa penjualan online mengalami pertumbuhan yang signifikan selama masa lockdown, terutama pada kategori elektronik dan gaya hidup seperti baju, sepatu, dan gadget. Namun, dia menyoroti bahwa penjualan online masih relatif kecil dibandingkan dengan toko ritel offline.

“Kontribusi penjualan online paling besar adalah elektronik bisa mencapai 15%, sedangkan di masa lockdown, naik menjadi 25%. Terbesar kedua adalah lifestyle, yang kontribusinya bisa sekitar 5% sampai 10%, ketika pandemi dia naik lagi, tapi sekarang sudah turun. Paling kecil kontribusinya adalah kebutuhan sehari-hari, itu cuma 1%,” jelas Yongky, dikutip dari kanal Youtube Prof. Rhenald Kasali pada Sabtu (30/9/2023).

Baca Juga: Teten Masduki Soal Masalah TikTok: Ritel Luar Tak Boleh Menjual Langsung Produknya di Indonesia!

Menurut Yongky, bisnis social commerce sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk masa depan dan kehidupan manusia di era modern. Namun, yang menjadi kendala adalah model bisnisnya.

“Model bisnis e-commerce awalnya berfokus pada Gross Merchandise Value atau GMV bukan profit. Lalu, strukturisasi e-commerce terlalu cepat. Mereka merekrut orang dan ngasih gajinya gila-gilaan. Kemudian, yang paling merusak adalah diskon,” imbuhnya.

Belum lama ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yakni Peraturan Menteri Perdagangan (permendag) yang mengatakan bahwa melarang social commerce seperti Tiktok untuk melakukan transaksi.

“Ini sebenarnya untuk semua platform, tidak terkecuali online dan offline. Tetapi kalau dalam suatu pertandingan ada yang tidak ikut peraturan, berarti melakukan pelanggaran,” katanya.

Yang menjadi sorotan Yongky adalah perlakuan yang berbeda dalam hal izin usaha dan perpajakan antara bisnis online dan offline. Dia mengungkapkan bahwa bisnis offline selalu dikejar dengan aturan yang ketat dan diperiksa izinnya oleh pihak berwenang. Sementara bisnis online terkadang terbebas dari aturan ini, sehingga menciptakan ketimpangan yang tidak adil.

Pentingnya kesetaraan ini juga terlihat dalam aspek perizinan dan label Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Online saat ini lulus semua mulai dari elektronik, kosmetik kebanyakan tidak ada label BPOM,” lanjutnya.

Yongky mengungkapkan bahwa produk impor di bawah nilai US$100 harus membuka bisnis secara offline terlebih dahulu sebelum dapat dijual.

Pengaturan ulang regulasi dan peraturan yang seimbang antara bisnis online dan offline adalah penting untuk menciptakan iklim usaha yang adil dan seimbang bagi semua pemangku kepentingan. 

Kesetaraan dalam izin, perpajakan, dan peraturan harus diupayakan agar semua jenis bisnis dapat berkembang dan bersaing secara adil di pasar yang semakin kompleks ini.

“Pemerintah tidak melarang, boleh dijual tapi ikuti aturan yang ada,” tegas Yongky.

Baca Juga: Dongkrak Efisiensi Bisnis, Pemerintah Jokowi Dorong Percepatan Digitalisasi BUMN

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nevriza Wahyu Utami
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: