Potensi Ekonomi Syariah Tinggi, Ini Wejangan untuk Penerus Kerja Presiden Jokowi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Periode 2014-2019, Dr. Hakam Naja menyoroti komitmen calon presiden dan calon wakil presiden terkait dengan perkembangan ekonomi syaraiah di Indonesia.
Salah satu yang disorotnya adalah terkait dengan State of the Global Islamic Economy Report (SGIER). Ia mengatakan, pemerintah memang telah berhasil meningkatkan peringkat Indonesia dari yang awalnya rangking empat menjadi rangking tiga. Namun hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan keuangan syariah.
Baca Juga: Jokowi Puji Kepuasan Menhan Filipina Terhadap Alutsista Indonesia, Begini Respons Timnas AMIN
Ia menuturkan hal ini terjadi karena pemerintah tidak begitu memperhatikan sektor tersebut dibandingkan dengan sektor industry dan pariwisata. Padahal, keuangan syariah adalah salah satu komponen utama dalam SGIER.
“Padahal bobot keuangan (syariah) itu 30% dari perankingan tersebut. Hal tersebut menyebabkan peningkatan ranking Indonesia hanya sampai rank 3 saja,” ujarnya dalam acara dari Diskusi Catatan Awal Tahun “Visi Capres dan Evaluasi Ekonomi Syariah di Indonesia” dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta, Jumat (12/1).
Hal ini tentu disayangkan mengingat tanah airmemiliki jumlah penduduk Muslim yang lebih besar dibandingkan dengan negara lainnya, dan bahkan yang terbesar di dunia. Jumlah penduduk Muslim yang besar merupakan faktor yang menjadi pendorong berkembangnya perbankan syariah.
Pangsa pasar perbankan syariah Indonesia per September 2023 mencapai 7,27% dibandingkan dengan perbankan secara keseluruhan. Malaysia sudah lebih dari 50%.
Baca Juga: Di Tengah Fenomena Dissaving, Jumlah Rekening Bank Mega Syariah Tumbuh 10,45 Persen
Penguatan ekosistem ekonomi syariah sangat penting dalam pengembangan perbankan syariah Indonesia. penguatan ini dapat dilakukan melalui industri halal. Perbankan syariah lahir dari bank muamalat tetapi tidak ada dukungan regulasi (baru muncul 17 tahun setelah adanya bank muamalat). Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia.
“Malaysia sudah menerapkan regulasi terkait sejak awal yang mendorong perkembangan perbankan syariah yang pesat,” ujar Hakam.
Kerja sama dan investasi internasional Indonesia masih sangat kurang di lingkup ekonomi syariah. Pendidikan dan peningkatan mutu sumber daya manusia serta riset dan inovasi masih berkembang lambat.
Baca Juga: Soal Merger BTN Syariah dan Bank Muamalat, OJK: Belum Ada Izin yang Masuk
Kemampuan tenaga kerja terkait perbankan syariah juga masih kurang. Banyak eksekutif bank syariah yang lebih didominasi alumni bank konvensional.
Hakam menilai terdapat sejumlah upaya yang bisa dilakukan pemerintah termasuk jajaran pemegang kepentingan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Misalnya dengan memberikan sebuah dorongan untuk tumbuh kembang ekosistem keuangan syariah di Indonesia.
“OJK telah menerapkan kewajiban pemisahan atau spin off Unit Usaha Syariah. Upaya menghadirkan pesaing Bank Syariah Indonesia (BSI) perlu didukung agar iklim persaingan perbankan syariah berlangsung sehat. Setidaknya ada dua lagi bank syariah sekelas BSI agar publik memiliki lebih banyak pilihan dalam memiliki bank syariah,” jelasnya.
Digitalisasi juga menjadi pilihan yang tidak bisa dielakan pada perbankan syariah. Tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masih rendah, yaitu sebesar 9,4% dan 12,2%.
Baca Juga: Prudential Syariah Solusi Proteksi Berbasis Syariah
Angka-angka tersebut jauh tertinggal dibandingkan indeks literasi dan inklusi keuangan nasional yang masing-masing sebesar 49,68% dan 85%.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Aldi Ginastiar
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement