Pegiat Lingkungan Dorong Pasangan Capres dan Cawapres Kaji Ulang Kebijakannya Bioenergi
Pegiat lingkungan Indonesia mendesak para pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024 untuk mengkaji kembali penggunaan bionergi dalam program transisi energi.
Dimana, penggunaan dua jenis bioenergi yang mengandalkan bahan baku hasil hutan, yakni biofuel dan biomassa, dinilai dapat menimbulkan dampak negatif yang mengganggu kelestarian alam.
Direktur Eksekutif Traction Energy Asia, Tommy Pratama mengatakan, transisi energi pada saat ini tengah hangat dibicarakan, mengingat dampak perubahan iklim dan pemanasan global akibat polusi bahan bakar fosil semakin terasa di dunia. Baca Juga: Kebut Transisi Energi, Pertamina dan Jepang Berkolaborasi!
Bahkan, pada Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, akhir tahun lalu, untuk pertama kalinya seruan bagi negara-negara di dunia untuk beralih dari bahan bakar fosil masuk di dalam konsensus yang disepakati bersama (Konsensus Dubai).
“Pada COP 28 kemarin, terdapat komitmen global pengurangan emisi dari bahan bakar ke arah yang lebih berkelanjutan, karena krisis iklim mengancam eksistensi manusia di Bumi. Apalagi posisi Indonesia sebagai penyumbang karbon terbesar ke-8 di dunia, sehingga perlu disegerakan untuk transisi ke energi rendah karbon,” ujar Tommy dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (13/1/2024).
Tommy mengatakan, penggunaan bioenergi menjadi salah satu bentuk transisi energi ramah lingkungan yang tengah digalakkan oleh pemerintah saat ini.
Meski begitu, ia mengkhawatirkan produksi bioenergi, khususnya biofuel, secara besar-besaran bakal mengancam ketahanan pangan dan hutan yang tersisa.
"Menggantungkan transisi energi pada biofuel atau bioenergi dikhawatirkan akan memicu persaingan antara pangan versus energi yang dapat berujung pada melonjaknya harga pangan," ucapnya.
Lanjutnya, berdasarkan data Traction Energy Indonesia, selain bioenergi, Indonesia masih memiliki sumber energi terbarukan lain yang berlimpah dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Baca Juga: Singgung Soal Etika, Megawati Minta Rakyat Lihat Rekam Jejak Capres
Dimana, energi angin, misalnya, baru termanfaatkan 0,1% dari potensi total 155 gigawatt (GW), kemudian ada energi surya yang baru termanfaatkan 0,01% dari potensi total 3.294,4 GW.
Sementara itu, Manager Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani mengatakan, co-firing biomassa yang menjadi substitusi penggunaan batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Menurutnya, Co-firing biomassa dengan pelet kayu adalah solusi palsu transisi energi karena berdampak pada hilangnya biodiversitas, mata pencaharian masyarakat, perampasan lahan, serta mengganggu pangan lokal yang bisa memicu krisis pangan.
“Bahan baku co-firing di 52 PLTU membutuhkan 10,2 juta ton biomassa dari hutan tanaman energi (HTE), sehingga risiko deforestasi tak dapat dihindari. Selain itu, energi yang dihasilkan oleh biomassa melalui kegiatan co-firing justru menghasilkan surplus emisi karbon sebanyak 26,48 juta ton," ujar Amalya.
Oleh karena itu, ada yang perlu pertanyakan kembali pada setiap paslon capres dan cawapres, seperti apa komitmen mereka terhadap pengurangan emisi melalui transisi energi.
"Transisi energi berkeadilan seharusnya: (1) akuntabel, transparan, dan partisipatif; (2) memenuhi dan melindungi HAM; (3) berkeadilan ekologis dan ekonomi; serta (4) transformatif," ujarnya. Baca Juga: Soal Ancaman Penembakan Anies, Timnas AMIN: Capres Dilindungi Undang-undang!
Manager Kampanye, Advokasi, dan Media FWI, Anggi Putra Prayoga mrngatakan, dari sisi tata kelola hutan dan lahan, FWI mempunyai catatan tersendiri bahwa produksi biomassa untuk pemenuhan bahan baku co-firing yang akan diimplementasikan di 52 PLTU di Indonesia juga membawa kecenderungan pada deforestasi.
Dimana, pemanfaatan hutan untuk pemenuhan bahan baku biomassa akan mempertaruhkan lebih dari 93 juta hektar hutan alam yang fungsinya juga sebagai carbon capture dan ruang hidup masyarakat.
“Tantangan global, termasuk bagi Indonesia adalah pemanfaatan lahan dan ruang hutan alam agar bisa dipergunakan untuk energi, pangan, dan sumber daya air. Fungsi ini seharusnya ikut diperhitungkan dan dinilai untuk ketahanan pangan dan air. Apalagi hingga tahun 2021, 13 perusahaan hutan tanaman energi (HTE) sudah melakukan deforestasi yang mencapai 55 ribu hektar. Bagaimana komitmen untuk menjaga hutan alam ini, karena pastinya akan ada perluasan deforestasi jika proyek ini (biomassa untuk co-firing) tetap berjalan,” ujar Anggi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait:
Advertisement