Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lumbung Pangan Desa, Program Ambisius Gibran Rakabuming Raka untuk Indonesia

Oleh: Hanif Muksin, Mahasiswa Strata 1 Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta

Lumbung Pangan Desa, Program Ambisius Gibran Rakabuming Raka untuk Indonesia Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Food estate, yang mendefinisikan kegiatan budi daya tanaman skala luas, telah menjadi fokus utama Indonesia dalam menjawab tantangan global terkait krisis pangan. Dengan minimal 25 hektar, pendekatan ini mencakup konsep pertanian sebagai sistem industrial berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, modal, serta manajemen modern (Badan Litbang Pertanian 2011). Istilah “food estate” digunakan secara spesifik untuk merujuk pada Program Lumbung Pangan Nasional (LPN) di Indonesia.

Di literatur internasional, pertanian skala luas dan modern dikenal dengan istilah “large scale agriculture” (Hall et al. 2017; Li dan Guo 2022). Negara-negara di Afrika, seperti Tanzania, yang telah memiliki sejarah panjang dalam large scale agriculture sejak era kolonialisme, menetapkan Large Scale Agricultural Investment (LSAI) sebagai investasi yang melibatkan lebih dari 200 hektar lahan pertanian (Brüntrup et al. 2016). Di Eropa dan negara barat, konsep agricultural industry mengemuka dengan penggunaan input tinggi, termasuk energi mesin, pupuk, dan input lainnya. Terlihat bahwa ukuran pertanian semakin meningkat dengan cepat, menyebabkan produk pertanian menjadi semakin terkonsentrasi dalam pola monokultur.

Baca Juga: Langkah Pemberantasan Kemiskinan, Program Ambisius Gibran Rakabuming untuk Indonesia

Namun, secara teori, ukuran lahan pertanian dan optimalisasi lahan tidak dapat ditentukan secara pasti. Ini disebabkan oleh kompleksitas interaksi antara faktor lingkungan, kapasitas ekologis, sistem pertanian, ketersediaan tenaga kerja, modal, dan pilihan teknologi. Faktor-faktor ini memiliki dampak signifikan terhadap keuntungan dan efisiensi usaha tani (Schlett dan Beke 2018). Pertanian skala luas tumbuh pesat pada abad ke-19 setelah era kolonialisme, yang awalnya didukung oleh kerja paksa dan perbudakan di abad ke-16 yang berangsur-angsur hilang. Lonjakan ini dipicu oleh meningkatnya kebutuhan pangan seiring pertambahan jumlah penduduk. Max Weber, pada tahun 1950, mencatat pergeseran dari pertanian tradisional menuju pertanian yang lebih rasional dan dikendalikan oleh semangat kapitalisme.

Pertanian tradisional, awalnya bertujuan untuk menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan bagi masyarakat lokal di lahan tertentu. Sebaliknya, pertanian rasional mengejar produksi setinggi mungkin dengan tenaga kerja seminim mungkin, dengan fokus pada maksimalisasi keuntungan dan ekspansi. Kemajuan teknologi pertanian di Cina, terutama melalui mekanisasi, mengakibatkan perubahan skala usaha tani secara alami dengan pengurangan tenaga kerja dan biaya pertanian yang lebih rendah (Zuo et al. 2015).

Di Indonesia, konsep food estate muncul sebagai respons terhadap tantangan global terkait kebutuhan pangan yang diprediksi mengalami krisis akibat ketidakseimbangan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan pangan. Negara ini terus menghadapi tantangan impor tanaman pangan, terutama beras, mulai dari era Presiden Soeharto pasca revolusi hijau hingga Pemerintahan Presiden Jokowi (Pitoko 2021). Program food estate menjadi semakin mendesak karena tingginya laju alih fungsi lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Meskipun Pulau Jawa menjadi sentra produksi beras dengan menyumbang 52% produksi padi, penurunan luas lahan panen terbesar terjadi di provinsi tersebut pada tahun 2019 dan 2020, khususnya di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan (BPS 2021).

Cawapres Gibran Rakabuming Raka mengusung visi ambisius dalam mencetak dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian melalui konsep lumbung pangan desa, daerah, dan nasional. Keyakinannya terletak pada pentingnya peningkatan produktivitas lahan sebagai langkah strategis menuju swasembada pangan di Indonesia. Dengan menekankan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, Gibran berupaya menjalankan pendekatan yang terintegrasi dan berkelanjutan di berbagai tingkatan, mulai dari desa hingga tingkat nasional. Komitmen ini mencakup berbagai komoditas vital seperti padi, jagung, kedelai, singkong, tebu, sagu, dan sukun. Pencapaian swasembada pangan diharapkan melalui efisiensi optimal dalam peningkatan hasil produksi.

Program intensifikasi bertujuan meningkatkan hasil pertanian per unit lahan, sementara ekstensifikasi memfokuskan pada perluasan lahan pertanian. Upaya ini diarahkan secara menyeluruh, dari tingkat desa hingga kabupaten/kota dan bahkan skala nasional. Dengan mengintegrasikan berbagai level, Gibran optimis bahwa langkah-langkah ini dapat memberikan dampak yang lebih signifikan dan efektif.

Gibran menetapkan target ambisius untuk menambah minimal 4 juta hektar luas panen tanaman pangan pada tahun 2029. Target ini mencerminkan tekadnya untuk mengatasi tantangan swasembada pangan dengan mengoptimalkan potensi lahan yang tersedia. Dengan demikian, ia menunjukkan keyakinannya bahwa langkah-langkah konkret dan terukur dapat mencapai hasil yang diinginkan dalam mengatasi ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan produksi pangan.

Baca Juga: Mengawal Janji, Mahasiswa Kalbar Minta Prabowo-Gibran Tandatangani Kontrak Politik

Meski visinya ambisius, optimisme Gibran Rakabuming Raka dalam upaya meningkatkan produktivitas lahan pertanian menggambarkan tekadnya untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan di Indonesia. Dalam pandangannya, lumbung pangan desa, daerah, dan nasional menjadi fondasi penting untuk mencapai cita-cita swasembada pangan, memastikan keberlanjutan pertanian, dan memberdayakan masyarakat petani di seluruh negeri.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: