Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat sebut Penerapan BMAD Tak Akan Efektif Lindungi Industri Ubin Keramik Dalam Negeri

Pengamat sebut Penerapan BMAD Tak Akan Efektif Lindungi Industri Ubin Keramik Dalam Negeri Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Agus Pambagio mengatakan, lesunya industri dalam negeri terutama keramik bukan disebabkan dumping produk impor, tetapi ditengarai oleh gagalnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengelola industri tanah air.

Rencana tarif Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang direkomendasikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sebesar 200% untuk keramik impor dari Cina, dinilai sebagai jalan pintas untuk menutupi kegagalan kinerja Menteri Perindustrian Agus Gumiwang sebagai pembina industri dalam negeri.

“Bukan cuma keramik doang semua, ya BMAD itu kan diberlakukan ketika terbukti dumping. Kalau dikenakan dumping misalnya keramik China, kan harus dibuktikan dulu terjadi dumping atau tidak,” ujar Agus, Selasa (30/7/2024).

Menurutnya, penerapan BMAD juga dianggap tidak akan efektif melindungi industri dalam negeri. "Setelah itu industri keramik jika tidak diperhatikan secara serius akan tetap menderita. Jadi kan percuma buat industri,” bebernya.

Lanjut Agus memaparkan yang dibutuhkan saat ini adalah business plan atau rencana bisnis ke depan bagi industri dalam negeri itu harus jelas arah dan tujuannya mau ke mana, jika dibiarkan terus-menerus seperti ini lama-kelamaan industri tanah air akan bertumbangan satu-persatu karena tidak mampu bersaing.

“Nah yang betul itu industri sekarang kita tidak punya business plan untuk perindustrian, tidak ada, suka-suka saja akhirnya pada mati karena pembina kementerian perindustrian tidak care terhadap hal-hal industri di sini, dibiarkan jadi semua orang dibiarkan dagang ya hancurlah industri,” ungkapnya.

Lebih lanjut Agus menyampaikan tugas Kemenperin harus memberikan pembinaan termasuk mengatur supaya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) bisa diterapkan sesuai aturan yang berlaku.

“Contoh industri keramik, industri tekstil, industri baja dan sebagainya tidak ada itu, jadi kementerian perindustrian sebagai induk dari industri dalam negeri dia harus membina harus mengatur soal TKDN bagaimana supaya bea masuk supaya tidak dituntut oleh WTO,” ucapnya.

Agus juga mengingatkan supaya pemerintah berhati-hati dalam penerapan BMAD karena rawan digugat ke organisasi perdagangan internasional (WTO) serta China bisa melakukan balasan dengan retaliasi terhadap produk-produk dari Indonesia.

KADI, Kementerian Perindustrian serta Kementerian Perdagangan, kata Agus, harus memberikan bukti yang kuat bahwa memang terjadi praktik dumping sebagaimana hasil penyelidikannya yang mana tidak pernah dibuka secara transparan kepada publik. Dia mengingatkan jangan sampai BMAD ini menambah masalah baru bagi Indonesia.

“Nanti kalau dia kasih 200 persen, China akan lapor WTO kita nanti bermasalah dengan WTO. Jadi itu kan jalan pintas yang membikin tambahan kesulitan buat negara kecuali dibuktikan," ungkap Agus 

"Buktikan dulu bahwa China dumping ada gak buktinya, kalau itu baru bisa nanti kita adu kuat di WTO sana, kalau tidak ya pasti kita kalah,” jelasnya.

Dikatakan Agus, jika dalam perjalanannya ternyata tidak terbukti dumping, maka berpotensi akan memunculkan retaliasi perdagangan dengan China atas produk Indonesia. 

Sehingga, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dipimpin Airlangga Hartarto selaku pihak yang mengurusi tata kelola ekonomi di Indonesia berpotensi dimintai pertanggungjawaban oleh masyarakat Indonesia. 

“Ya, kalau industri ya kementerian perindustrian, kalau soal perdagangannya kementerian perdagangan, kalau soal nanti keuangannya ada insentif dan kementerian keuangan yang mengeluarkan itu kementerian keuangan BMAD itu," jelasnya

Agus mendorong pemerintah khususnya kementerian perindustrian untuk melindungi industri dalam negeri dan konsumen. Maka harus tegas menentukan sektor apa yang harus digarap ke depan.

Misalnya, lanjut Agus, membuat blue print atau cetak biru wajah industri Indonesia ke depan, seperti halnya melakukan hilirisasi namun tetap harus ada cetak biru yang dikerjakan.

“Apa sih masalah perindustrian di Indonesia itu apa itu sudah lama tetapi tidak pernah dikerjakan dengan serius, jadi terus berulang tambah memburuk mau industri apa yang dikembangkan di sini. Industri agriculture, industri manufacturing atau industri lainnya tekstil garmen tidak jelas sampai hari ini,” ucapnya.

“Kalau tanya apa sih yang bisa dilakukan? Apa yang harus dilakukan ya hancur-hancuran karena tidak ada perencanaan dan blueprint-nya mungkin ada tapi tidak dikerjakan,” tukasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: