Ahmad Sahroni Acungi Jempol pada Kejagung yang Berhasil Kembalikan Kerugian Negara Hingga Rp 82 Triliun
Indonesia Corruption Watch (ICW) baru saja merilis data yang menunjukkan perbedaan tuntutan uang pengganti kasus tindak pidana korupsi, antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam 'Peluncuran Laporan Hasil Pemantauan Tren Vonis Korupsi Tahun 2023', Senin (14/10), mengatakan jumlah uang pengganti yang dituntut jaksa Kejagung lebih besar dibanding KPK. Kejagung total menuntut uang pengganti hingga Rp 82 triliun, sedangkan KPK hanya Rp 675 miliar.
Laporan ICW ini pun lantas turut mendapat respons dari Wakil Ketua Komisi III periode 2019-2024 DPR RI Ahmad Sahroni.
Politikus NasDem itu menyebut bahwa tren pengembalian kerugian negara akan menjadi concern penegakkan hukum ke depannya.
"Pemaksimalan pengembalian kerugian negara telah menjadi concern Komisi III bersama para mitra kerja. Dan ke depannya, pendekatan ini akan semakin kita gencarkan. Karena terbukti bahwa menambal kerugian negara itu jauh lebih penting ketimbang sekedar penjara badan, yang cenderung tidak solutif, tidak efektif, dan sering memakan biaya besar,” ujar Sahroni dalam keterangan (15/10).
Maka dari itu, Sahroni mendorong para mitra kerja, khususnya Kejagung, KPK, dan Polri, untuk memaksimalkan aspek pengembalian kerugian negara secara lebih maksimal.
"Terlebih untuk Kejagung, KPK, dan Polri, harus mulai menggeser paradigma penegakkan hukumnya. Jadikan penjara badan sebagai opsi terakhir, kini yang menjadi prioritas utama adalah cara pengembalian kerugian negara yang ditimbulkannya. Bisa dengan memaksa pelaku membayar dengan jumlah besar melebihi nilai korupsinya, atau sebagainya. Intinya, jangan sampai kita biarkan uang negara terus-menerus menguap, dimaling, dan dibiarkan tidak kembali begitu saja. Kalau begitu terus, ujungnya yang rugi pasti masyarakat, karena anggaran itukan dasarnya ditujukan untuk kebermanfaatan masyarakat," kata Sahroni.
Terakhir, Sahroni tidak ingin anggaran negara yang sebagian besar berasal dari pajak, dikorupsi sehingga manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh masyarakat itu sendiri.
"Misal saja ada proyek pengerjaan jalan untuk masyarakat. Kalau dikorupsi ya pasti pengerjaannya jadi jelek, cepet rusak. Yang begitu kan percuma kalau pelakunya cuma dipenjara, masyarakatnya tetep rugi dapet jalanan rusak. Makanya, kita maksimalkan pengembalian kerugian negaranya, biar bisa kembali untuk manfaat masyarakat,” tutup Sahroni.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement