Jalan Indonesia menuju kemandirian ekonomi masih belum pasti sejak kemerdekaannya. Berbagai model ekonomi, mulai dari berbau sosialis hingga upaya membuka pintu lebar bagi investasi asing telah dijalankan untuk mencapai pemerataan dan kemakmuran. Namun hasil dari semua hal tersebut belum mencapai titik yang diharapkan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudistira, menegaskan bahwa sudah saatnya negara ini mencari kekuatan dalam model ekonominya sendiri, tanpa harus terpaku pada pendekatan mainstream yang diterapkan oleh negara-negara lain.
Baca Juga: Ditjen Bina Adwil Bentuk Pusat Inovasi Ekonomi di Sembilan Kawasan Metropolitan
Menurut Bhima, keberhasilan ekonomi dapat dilihat dari bagaimana pemerintah menangani masalah dari Krisis 1998 dan Covid-19. Kedua hal ini terselesaikan oleh ekonomi berbasis masyarakat lokal, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Kalau pemerintah tidak mengakui ini sebagai model ekonomi yang khas Indonesia dan terbukti efektif, maka kita akan rugi besar,” ungkap Bhima, dilansir Minggu (20/10).
Model ekonomi ini tidak hanya berkontribusi pada pemerataan kesejahteraan tetapi juga ramah lingkungan, karena tidak mengandalkan ekstraksi sumber daya alam besar-besaran seperti pertambangan dan perkebunan monokultur.
Bhima menjelaskan bahwa sistem ekonomi restoratif, yang memadukan pertumbuhan ekonomi dengan pemulihan lingkungan, merupakan pendekatan yang relevan bagi Indonesia. Dirinya mendefinisikan ekonomi restoratif sebagai sistem yang berfokus pada pemulihan ekosistem yang terdegradasi, guna mengembalikan fungsi ekologisnya sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Baca Juga: Peran TBIG Bangun Kemandirian Ekonomi Generasi Muda Lewat Batik
Adapun Bhima mempertanyakan relevansi ekonomi ekstraktif yang selama ini dianggap sebagai solusi untuk pertumbuhan. Dirinya menjelaskan bahwa desa-desa yang bergantung pada pendapatan dari sektor ekstraktif, seperti pertambangan, sering kali kesulitan mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, ketergantungan pada komoditas yang harganya fluktuatif, seperti nikel dan batubara, menempatkan ekonomi Indonesia dalam posisi rentan terhadap pengaruh eksternal. Bhima juga mengingatkan bahwa ekonomi ekstraktif tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.
Baca Juga: Ekonomi RI Tumbuh Diatas 5% di Triwulan III 2024, Ini Dia Penopangnya
Adapun Pengamat Ekonomi, Harryadin Mahardika menjelaskan dilema yang dihadapi Indonesia dalam memilih model ekonomi yang tepat. Di satu sisi, Indonesia ingin mendorong industrialisasi, tetapi menghadapi tantangan besar karena tertinggal dari negara-negara seperti Cina, India, dan Vietnam dalam hal efisiensi industri.
Menurut Harryadin, strategi pemerintah saat ini lebih fokus pada ekstraksi sumber daya dan hilirisasi, sebuah pendekatan pragmatis yang diambil oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Baca Juga: Perlindungan dan Pengembangan Pantura Jawa, Urat Nadi Ekonomi Sumbang 20 Persen PDB Indonesia
Namun, meskipun langkah ini realistis dalam jangka pendek, ia menilai kebijakan ekonomi yang ada saat ini belum berhasil mendistribusikan kekayaan secara merata kepada masyarakat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Aldi Ginastiar
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement