Lewat pilar budaya, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk menjalankan salah satu program Tanggung Jawab Sosial-Lingkungan (Corporate Social Responsibility/CSR) dengan mendirikan Rumah Batik TBIG. Berada di Pekalongan, tempat pelatihan batik yang berdiri sejak 2014 itu dirancang menjadi program community development yang komprehensif dan berkelanjutan.
Selain memberikan keterampilan dan keahlian membatik, Rumah Batik juga membangkitkan kewirausahaan masyarakat sekitar dan pendampingan oleh koperasi binaan. Lewat Koperasi Bangun Bersama (KBB), siiswa yang telah lulus pelatihan membatik mendapat akses permodalan dan pendistribusian barang. Koperasi pendamping ini bertindak sebagai care taker dengan memberikan kepastian pembayaran tunai kepada perajin.
“Dalam pengembangan Rumah Batik, kemandirian menjadi penting karena hanya dengan kemandirian, batik bisa menjadi produk yang relevan. Kami menginginkan batik menjadi realitas sehari-hari dan bisa memberikan manfaat secara ekonomi sehingga membantu terciptanya lapangan kerja baru,” jelas Fahmi Sutan Alatas, Head of CSR Department PT Tower Bersama Infrastructure Tbk, di Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (17/10/2024).
Siapa pun yang berminat, terutama mereka yang berusia produktif, bisa mendaftar untuk mengikuti program Rumah Batik TBIG yang berdurasi selama enam bulan. Beberapa kriteria ditetapkan sehingga hanya siswa yang sungguh-sungguh mengikuti pembelajaran yang dapat dinyatakan lulus.
“Yang lolos terbaik diarahkan ke inkubasi untuk mendapatkan modal sebanyak tiga kali siklus produksi. Produksi mereka kami beli dengan pembayaran langsung di awal, tidak seperti kebanyakan sistem di toko batik yang membayar dalam periode 3-6 bulan setelah penyerahan produk. Dengan begitu, produktivitas para perajin tetap terjaga,” jelas Fahmi.
Produk batik dari perajin batik di Rumah Batik TBIG akan didistribusikan lewat koperasi. Sejauh ini, KBB sudah mampu menyuplai batik untuk wilayah Jogja, Solo, Semarang, Cirebon, Surabaya, dan sebagian Jakarta.
Dalam kesempatan berbeda, Lie Si An selaku Chief Business Support Officer menyatakan, “TBIG melihat bahwa batik merupakan bagian dari identitas bangsa Indonesia. Di sisi lain, industri batik juga melibatkan warga masyarakat secara luas. Melihat dimensi ekonomi sosial dan budaya ini, TBIG memutuskan untuk terlibat dan berkontribusi dalam upaya pelestarian dan pengembangan batik.”
“Kami percaya bahwa konsistensi dan disiplin eksekusi merupakan kunci dari keberhasilan sebuah program CSR. Untuk menjaga keberlanjutan batik, program ini menyasar generasi muda. Melalui Rumah Batik TBIG, kami ingin menghidupkan kembali minat anak muda terhadap budaya membatik, sembari memberikan mereka keterampilan yang dapat digunakan untuk menciptakan kemandirian ekonomi dan meningkatkan taraf hidup,” imbuhnya.
Baca Juga: Bagian dari CSR Tower Bersama Infrastructure, Rumah Batik TBIG Gelar Wisuda ke-5
Kisah Alumni Rumah Batik Sukses Bangun Batik Eljava
Salah satu alumni Rumah Batik TBIG Angkatan tahun 2015 yang hadir dalam Wisuda Rumah Batik TBIG ke-V pada Kamis, 17 Oktober di Pekalongan, Jawa Tengah, Rizal, membagikan perjalanan bisnisnya hingga mampu menembus pasar internasional.
Dengan jenama Eljava, batik tulis yang diproduksi Rizal telah melayani pembeli dari India, Jepang, Singapura, dan Thailand. Hingga kini, karyawannya sudah berjumlah kurang lebih 50 orang dengan jumlah perajin batik mencapai 10 orang.
“Setelah lulus, saya awal membuat batik di tahun 2016 baru mampu membuat dua kain saja. Setelah jadi, saya pasarkan dari toko ke toko. Sayangnya, pembayaran di toko-toko itu kebanyakan tidak langsung, menunggu kira-kira sampai tiga bulan,” terangnya.
“Lalu, ada momen batik hasil karya dipajang kemudian ada petinggi dari TBIG yang tertarik dengan motifnya dan dibeli. Dari situ, saya produksi lagi. Awal-awal saya melakukan pemasaran tradisional dengan menawarkan ke toko-toko batik di Pekalongan. Berjalannya waktu, saya terus belajar dan mencoba pemasaran secara digital,” ungkapnya kemudian.
Pemasaran secara daring ternyata membawa berkah tersendiri bagi Rizal. Dari sana, ia mendapat customer dari luar negeri. Dia mengaku mulai menggunakan pemasaran daring sejak 2020 saat terjadi pandemi karena transaksi di toko ditutup. Hingga kini, pemasaran terbesar batik Eljava didapat lewat digital dengan omzet mencapai Rp30 juta per bulan.
Untuk produksi, Rizal telah memiliki tempat produksi dan galeri sendiri dengan produk yang dihasilkan sekitar 30 buah per bulan. Hanya saja, Rizal mengaku masih kesulitan memenuhi kebutuhan pelanggan saat permintaan di pasar naik.
“PR terbesar saya saat ini ada di produksi karena di kala permintaan sepi, produksi juga menurun. Namun, di kala penjualan naik, kami ada kendala di jumlah barang. Jadi, sekarang target saya ialah tetap meningkatkan produksi saat permintaan sepi maupun ramai. Dengan begitu, saat permintaan banyak, barang tersedia,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement