Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tolak Adopsi FCTC, Guru Besar UI Minta Pemerintah Jaga Kedaulatan Negara

Tolak Adopsi FCTC, Guru Besar UI Minta Pemerintah Jaga Kedaulatan Negara Pedagang menunjukkan salah satu jenis tembakau linting jualannya di salah satu toko tembakau di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (6/1/2022). Pemakaian tembakau linting mulai kembali diminati masyarakat seiring naiknya harga cukai rokok dan harga tembakau linting tersebut berkisar Rp20 ribu - Rp50 ribu per ons. | Kredit Foto: Antara/Patrik Cahyo Lumintu
Warta Ekonomi, Jakarta -

Upaya jajaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam mendorong penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/204) dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dinilai merupakan bagian dari adopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di Indonesia.

Pasalnya, Indonesia tidak meratifikasi perjanjian FCTC tersebut, namun Kemenkes memasukkan poin-poin dalam perjanjian internasional tersebut ke dalam PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes, termasuk penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, seperti yang diatur pada FCTC Pasal 11.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Profesor Hikmahanto Juwana, menegaskan sudah seharusnya Indonesia menolak FCTC dan segala bentuk adaptasinya.

“Rancangan Permenkes yang terus didorong oleh jajaran Kemenkes membuat Indonesia mendapatkan intervensi dari luar negeri dalam menentukan kebijakan. Tindakan diam-diam mengadopsi ketentuan FCTC ke dalam kebijakan Kemenkes ini mencoreng kemerdekaan bernegara,” ujarnya kepada media. 

Profesor Hikmahanto menyatakan bahwa kondisi ini membuat Indonesia seolah-olah tidak punya kebebasan untuk menentukan kebijakan.

Baca Juga: Kemnaker Sebut R-Permenkes Produk Tembakau Rawan Tambah Angka Pengangguran

“Jangan ketentuan yang dibuat di luar negeri diterapkan di Indonesia. Kalau seperti ini, menunjukkan Indonesia masih dijajah oleh negara lain,” ungkapnya.

Padahal, dalam beberapa kesempatan, Indonesia telah melawan penerapan aturan yang sejalan dengan FCTC di Amerika Serikat dan Australia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Profesor Hikmahanto mengatakan tindakan perlawanan itu harus terus dilanjutkan demi menjaga kedaulatan Indonesia. 

“Kita harus konsisten. Jangan sampai lembaga tertentu menggunakan Kemenkes untuk melawan pihak lainnya, seperti Kementerian Keuangan. Dulu kan kita sudah pernah diadu domba waktu dijajah. Masa sekarang mau diadu domba lagi. Hilangkan ego sektoral masing-masing,” tegasnya.

Hikmahanto menjelaskan dirinya bukan perokok namun faktanya tidak dapat dipungkiri bahwa industri tembakau di Indonesia telah menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar di berbagai wilayah. Perekonomian yang dibangun pun sangat besar, bahkan berkontribusi signifikan sebagai pendapatan negara melalui cukai rokok. 

Maka, aturan yang pertama kali dicetuskan oleh jajaran Kemenkes ini menjadi tindakan yang sembrono. Penolakan dari berbagai pihak pun terus bermunculan, bahkan dari Kementerian dan lembaga terkait lainnya yang menjadi pembina industri tembakau. 

Baca Juga: Kemenkes RI Apresiasi Peran PetroChina dalam Percepatan Penurunan Stunting

Selain itu, Profesor Hikmahanto juga mengungkapkan dampak positif terhadap ekonomi dan sosial dari industri tembakau tidak bisa dikesampingkan oleh jajaran Kemenkes.

“Saya menyayangkan adanya aturan ini hanya karena desakan dari pihak tertentu yang ingin mengadopsi FCTC. Kalau diterapkan, pemerintah akan mematikan industri tembakau. Ketentuan FCTC ini tidak boleh diadopsi dan menjadi hukum di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.” 

Profesor Hikmahanto meminta pemerintah agar fokus pada aturan yang sudah berlaku dan mengedukasi masyarakat secara komprehensif terkait dampak rokok tanpa mematikan industrinya di Indonesia.

"Oleh karena itu, sesuai semangat Bapak Presiden Prabowo, kita harus tahu apa yang kita mau. Kita sebagai negara yang besar harus menolak intervensi. Kalau ada aturan itu harus sesuai kebutuhan, bukan karena dorongan asing,” tegasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: