
Bank Indonesia (BI) beberapa waktu lalu telah memangkas suku bunga acuannya atau BI Rate dari sebelumnya 6,00 persen menjadi 5,75 persen. Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah seberapa efektif pemangkasan BI Rate ini dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah perlambatan konsumsi rumah tangga, terutama di kelompok menengah ke bawah. Langkah ini dianggap sebagai kebijakan yang bersifat "preemptive" dan "forward-looking," dengan mempertimbangkan rendahnya inflasi serta stabilitas Rupiah yang masih cukup terjaga.
Namun, ia mengakui bahwa dampak kebijakan moneter memiliki time lag, sehingga kenaikan konsumsi bergantung pada efektivitas penurunan suku bunga dalam mendorong kredit konsumsi dan meningkatkan likuiditas rumah tangga.
Baca Juga: BI Klaim Indonesia Masih Jadi Tujuan Investasi: Fundamental Ekonomi Kuat
"Kenaikan konsumsi akan tergantung pada sejauh mana penurunan suku bunga diterjemahkan menjadi kredit konsumsi yang lebih murah dan peningkatan likuiditas bagi rumah tangga," kata dia yang dikutip di Jakarta, Jumat (31/1/2025).
Penurunan suku bunga juga memiliki potensi untuk mendorong investasi swasta dengan menurunnya biaya pembiayaan. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada sentimen pasar dan stabilitas nilai tukar Rupiah. BI menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas Rupiah, dan inflasi.
Selain itu, ketidakpastian global dan potensi pelebaran defisit neraca berjalan harus dikelola dengan baik untuk mempertahankan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. "Ketidakpastian global dan risiko pada neraca berjalan yang melebar perlu dikelola dengan baik agar investor swasta tetap percaya diri," tandasnya.
Lebih lanjut, Ekonom BCA, David Sumual mengatakan, sulitnya investasi asing masuk ke Indonesia bukan hanya karena faktor ekonomi global, tetapi juga akibat kebijakan yang sering berubah serta birokrasi yang masih dianggap rumit. Hal ini membuat banyak investor memilih untuk beralih ke negara lain, seperti Vietnam, yang dianggap lebih stabil dan efisien dalam regulasi investasi.
"Fokus pemerintah saat ini lebih ke konsumsi masyarakat. Sementara, pemerintahan sebelumnya lebih ke investasi, seperti makan bergizi gratis (MBG) , yang secara langsung dapat meningkatkan daya beli dalam jangka pendek-menengah," kata dia.
Berbeda dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya yang lebih condong ke investasi, kebijakan saat ini lebih menitikberatkan pada penguatan daya beli dalam jangka pendek hingga menengah. Salah satu contohnya adalah program bantuan langsung, seperti bantuan sosial dan insentif konsumsi, yang dapat membantu mendorong belanja masyarakat.
Baca Juga: BI Rate Turun Jadi jadi 5,75%, Bos BI Beberkan Alasannya
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menilai, pergerakan suku bunga pinjaman konsumsi dan investasi cenderung memiliki volatilitas yang lebih kecil dibandingkan suku bunga acuan.
Dengan demikian, penurunan suku bunga oleh BI tidak serta-merta diikuti oleh perbankan dalam menurunkan suku bunga pinjaman. Hal ini menyebabkan adanya jeda waktu atau delay dalam transmisi kebijakan moneter ke sektor riil. "Konsekuensinya apa? Pada waktu BI nurunin suku bunga, saya melihat ada delay untuk penurunan suku bunga pinjaman dan sebagainya," kata Tauhid.
Selain itu, Tauhid menjelaskan bahwa efek dari kebijakan pemangkasan suku bunga ini baru akan terasa dalam jangka waktu tiga hingga enam bulan ke depan. Mengingat penurunannya hanya sebesar 25 basis poin, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi kemungkinan besar masih terbatas.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait:
Advertisement