Bahas Tantangan Program Makan Bergizi Gratis, Universitas Paramadina dan Institute Harkat Negeri Gelar Diskusi Publik

Universitas Paramadina bekerja sama dengan Institute Harkat Negeri (IHN) menggelar peluncuran Policy Brief dan diskusi publik bertema "Makan Bergizi Gratis: Cerita Sukses atau Mimpi Buruk Pemerintahan Prabowo?" pada Rabu, 12 Februari 2025.
Diskusi daring ini menghadirkan berbagai akademisi dan pakar ekonomi serta kesehatan untuk membahas implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintahan Prabowo Subianto.
Acara dibuka dengan sambutan dari Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, Ph.D., serta Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, MBA. Diskusi kemudian dipandu oleh moderator Tiffany Celine Handoko dari tim riset IHN, dengan menghadirkan beberapa pembicara, yakni:
- Yurgen Alifia Sutarno, MPP – Direktur Institut Harkat Negeri (IHN)
- Dr. Fatchiah E. Kertamuda, M.Sc. – Wakil Rektor Universitas Paramadina
- Ika Karlina Idris, Ph.D – Monash University Indonesia
- Wijayanto Samirin, MPP – Ekonom Universitas Paramadina
- Tantangan dan Masalah Implementasi Program MBG
Baca Juga: Presiden Prabowo Tinjau Program MBG di Bogor, Tegaskan Komitmen untuk Anak Bangsa
Dalam diskusi, Prof. Didik J. Rachbini menyoroti kompleksitas program MBG yang mencakup tantangan rantai pasokan untuk melayani puluhan juta anak, pengawasan kualitas gizi, serta dampak sosial dan budaya di berbagai daerah.
Ia juga menekankan bahwa dari perspektif ekonomi, anggaran MBG merupakan bentuk konsumsi pemerintah yang seharusnya dapat meningkatkan PDB dan pertumbuhan ekonomi. Namun, saat ini implementasinya masih mengalami berbagai kendala, termasuk potensi pemburu rente yang memanfaatkan besarnya anggaran program ini.
Prof. Didik juga menyarankan agar MBG diprioritaskan terlebih dahulu untuk daerah-daerah yang mengalami kekurangan gizi dan stunting akut, sebelum diperluas secara nasional. Selain itu, ia menyoroti pentingnya keterlibatan warung makan kecil agar tidak hanya menguntungkan kelompok usaha besar.
Dr. Fatchiah E. Kertamuda menekankan bahwa banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam program MBG. Ia menyoroti potensi pengalihan anggaran pendidikan sebesar Rp660 triliun untuk MBG serta adanya daerah yang lebih memprioritaskan pendidikan gratis dibandingkan pemberian makan bergizi gratis. Selain itu, perbedaan kebutuhan kalori antara anak SD, SMP, dan SMA menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan.
Ia juga menyoroti pentingnya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam memastikan kecukupan gizi anak serta perlunya monitoring ketat agar program ini berdampak positif pada tumbuh kembang dan kesehatan mental anak. Dalam hal ini, koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, sekolah, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan program MBG.
Baca Juga: Sistem Rantai Dingin Jamin Ikan yang Dipasok ke Dapur MBG Berkualitas
Ekonom Universitas Paramadina, Dr. Wijayanto Samirin, menyoroti tantangan fiskal dalam implementasi MBG. Ia mengingatkan bahwa program ini menyedot anggaran negara yang sangat besar, mencapai hampir Rp500 triliun per tahun, sementara kapasitas fiskal Indonesia masih terbatas. Selain itu, MBG merupakan program dengan konsekuensi jangka panjang yang tidak bisa dihentikan setelah diluncurkan, karena akan berdampak pada ekspektasi masyarakat dan stabilitas pemerintahan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa anggaran MBG terus mengalami kenaikan, dari Rp71 triliun menjadi Rp171 triliun, dengan berbagai sektor lain seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mengalami pemangkasan demi menutupi kebutuhan dana program ini. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya kehati-hatian dalam implementasi MBG agar tidak mengorbankan hak-hak masyarakat di sektor lainnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement