Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Orasi Ilmiah 'Bangsa yang Tersandera' Prof. Komarudin pada Dies ke-27 Universitas Paramadina

Orasi Ilmiah 'Bangsa yang Tersandera' Prof. Komarudin pada Dies ke-27 Universitas Paramadina Kredit Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden
Warta Ekonomi, Jakarta -

Setiap zaman melahirkan pemimpin dan setiap pemimpin mempengaruhi zamannya yang pada urutannya menggerakkan dan mengarahkan jalannya sebuah bangsa. Apakah mimpi-mimpi besar masing-masing generasi dan pemimpin bangsa ini? Adakah kesinambungan mimpi besar dari generasi ke generasi berikutnya?

Saya akan memulai analisis ini dengan membaca mimpi-mimpi zaman yang mengemuka pada setiap generasi yang berselang sekitar 20-25 tahun, dengan asumsi pada usia 25 tahun seseorang sudah dewasa dan memiliki idealisme tinggi. Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo yang didirikan oleh Dr.Soetomo (20 tahun) menyuarakan aspirasi zamannya agar pribumi meningkatkan pendidikan dan memperjuangkan kesetaraan sosial-ekonomi dengan bangsa kolonial. Meskipun awalnya bersifat elitis, mimpi Budi Utomo ini beresonansi menjadi tonggak kebangkitan nasional Indonesia dan menginspirasi gerakan masyarakat untuk berani bermimpi memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Mimpi Budi Utomo disambut oleh generasi 1928 yang menggaungkan ikrar Sumpah Pemuda untuk memperjuangkan persatuan, kebangsaan, dan kemerdekaan Indonesia. Mereka merajut keragaman suku menjadi satu identitas keindonesiaan. Mereka yakin hanya dengan pendidikan yang bagus dan persatuan yang solid bangsa ini akan berdaulat dan disegani dunia.

Dalam gerakan ini ada Muhammad Yamin (25 th), Wage Rudolf Supratman (25 th), Soegondo Djojopoespito (23 th), Amir Syarifuddin Harahap (21 th), Kartosuwiryo (23 th) Johannes Leimena (23 th) dan kawan-kawan lainnya yang telah menancapkan tonggak sejarah yang menjadi fondasi dan arah bagi perjuangan menuju Proklamasi 1945.

Tonggak Kemerdekaan

Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan tonggak historis-politis menandai lahirnya sebuah Negara Republik Indonesia yang benih dan bibitnya sudah disemai oleh Pemuda 1928. Yaitu Indonesia yang setara, berdaulat, bersatu, adil dan sejahtera. Dwitunggal Sukarno-Hatta sebagai proklamator kemerdekaan dan pasangan presiden-wakil presiden pertama memperoleh kepercayaan rakyat sebagai nahkoda jalannya pemerintahan yang di dalamnya masih menyimpan friksi yang tajam di antara pemegang saham (shareholder) pendirian negara bangsa.

Sebagai negara baru, pasangan Soekarno-Hatta dihadapkan beragam konflik berkepanjangan, mirip pemerintahan baru AS yang merdeka 4 Juli 1776. Sebagai nation builders, Bung Karno dan Bung Hatta dibuat sibuk menyelesaikan konflik yang muncul antara pemerintah pusat dan daerah karena perbedaan aspirasi model pemerintahan yang hendak diberlakukan. Konflik antara kekuatan sipil dan militer. Konflik antara kubu agamis, sekuler dan nasionalis. Belum lagi gangguan militer dan politik akibat agresi pihak Inggris dan Belanda yang tidak rela Indonesia merdeka. Ada lagi pemberontakan ideologis yang dilakukan PKI dan DI/TII yang menguras energi pemerintah. Beragam konflik ini memuncak pada peristiwa 30 September 1965 yang mengantarkan tampilnya Presiden Suharto.

State Builder. Jika Presiden Sukarno sering dijuluki sebagai pembangun bangsa (nation builder), Presiden Surhato yang diangkat oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat) 12 Maret 1967 ada yang menyebutnya sebagai Bapak Pembangunan. Ada juga yang menyebutnya “state builder” atau pembangun negara. Secara de facto Pak Harto telah menjadi penguasa tertinggi sejak menggenggam Surat Perintah Sebelas Maret 1966 yang sampai sekarang dokumen aslinya masih misterius. 

Selama pemerintahannya Presiden Suharto sangat menekankan stabilitas, pembangunan infrastruktur pendidikan dan pertanian serta mengendalikan angka kelahiran agar terwujud kesejahteraan dan keamanan. Semua itu dituangkan dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Jika Bung Karno terobsesi dengan kesatuan dan kebesaran bangsa Indonesia, obsesi Pak Harto adalah stabilitas dan kesejahteraan rakyat dengan ongkos politik kekuatan oposisi mesti dipasung agar tidak merecoki jalannya pemerintahan. Partai politik disederhanakan menjadi dua, PDI dan PPP, lalu Golongan Karya sebagai wadah ASN (Aparatur Sipil Negara) dan kaum teknokrat yang dibesarkan. Pak Harto memilih pembantunya dari kalangan teknokrat terbaik anak-anak bangsa. 

Setelah 31 tahun berkuasa, akhirnya pada 21 Mei 1998 Presiden Suharto mengundurkan diri karena tekanan publik. Pak Harto yang terobsesi dengan pembangunan ekonomi, justeru di penghujung pemerintahannya Indonesia dilanda keterpurukan ekonomi. Di samping jasanya yang besar bagi pembangunan, kritik yang dialamatkan padanya seputar sikapnya yang otoriter, birokrasi yang korup, pelanggaran HAM dan ketidakmampuannya mengendalikan utang luar negeri yang berdampak pada krisis ekonomi 1997-1998.

Masa Transisi. Masa antara pengunduran Presiden Suharto (1998) dan terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004) merupakan masa transisi yang dikomandoi oleh tiga sosok presiden, yaitu: BJ Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), dan Megawati (2001-2004). Ketiganya dengan gaya dan jasanya masing-masing telah memuluskan jalan demokrasi dan perbaikan ekonomi yang memburuk di ujung pemerintahan Pak Harto. Habibie mengesahkan UU Multipartai, kebebasan pers dan kebebasan berserikat. Gus Dur menciptakan iklim kebebasan beragama, membubarkan Departemen Penerangan, dan menetapkan Konghucu sebagai agama yang diakui dan dilindungi pemerintah. Lalu Megawati sebagai presiden perempuan pertama membentuk KPK, mengesahkan UU pemilihan umum secara langsung serta gencar melakukan pemberantasan terorisme.

Pendeknya, ketiga sosok presiden itu akan dikenang sebagai negarawan yang melapangkan jalan demokrasi, kebebasan berekspresi dan pengembangan sumber daya manusia agar Indonesia bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan global baik dari sisi ekonomi maupun kebudayaan.

Pelembagaan Demokrasi. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi presiden selama dua periode (2004-2014) melalui pemilihan langsung telah menorehkan catatan bagus tentang pendewasaan demokrasi dan stabilitas politik. Di samping menjaga pertumbuhan ekonomi dan mengurangi beban utang luar negeri, Presiden SBY berhasil meningkatkan citra Indonesia di panggung internasional.

Pemilu tahun 2004 itu kebetulan saya menjadi Ketua Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Sebuah pemilu yang diikuti sebanyak 24 partai politik yang berlangsung damai, tidak mengundang kekisruhan yang berarti. Perselisihan yang terjadi lebih banyak menyangkut persaingan antar sesama calon anggota legislatif, baik persaingan calon antar parpol maupun intra parpol dalam satu daerah pemilihan. Namun untuk pencalonan presiden sosok SBY cukup menonjol sehingga tidak menimbulkan keterbelahan sosial yang tajam dalam masyarakat.

Di lingkungan militer, SBY dikenal sebagai perwira tinggi yang intelek, menginginkan adanya pembaharuan peran militer dengan mengambil jarak dari politik praktis. Karir militernya yang dibarengi dengan karir intelektualnya berhasil menampilkan dirinya sebagai sosok jenderal yang menjaga etika politik dan committed dengan Konstitusi bernegara. Dia merupakan sosok politisi people pleaser yang enggan berkonflik. Di antara kritik yang dialamatkan pada Presiden SBY adalah dari sisi infrastruktur tidak meninggalkan warisan atau prestasi yang mengesankan. Beberapa kader Partai Demokrat terjerat KPK dan mesti mendekam di Sukamiskin Bandung.

Baca Juga: Sambut Kenaikan PPN 12 Persen, IKPI: Ini untuk Kemandirian Bangsa

Produk Demokrasi Par Excellence

Kemunculan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden dua periode (2014-2024) sungguh merupakan produk demokrasi par excellence. Berkat jalan demokrasi yang dilapangkan oleh Habibie, Gus Dur dan Megawati, Jokowi yang awalnya dikenal sebagai tukang kayu, oleh PDIP dipromosikan menjadi walikota Solo, setelahnya hijrah ke Jakarta untuk bertarung dan menang sebagai Gubernur DKI. Seterusnya naik lagi memenangkan kontestasi presiden. Ini semua dimungkinkan karena dan oleh sistim demokrasi yang dihasilkan oleh gerakan reformasi yang mengakhiri era orde baru. 

Tanpa jejak rekam sebagai aktivis intelektual yang terlibat gerakan reformasi dan tidak juga sebagai pimpinan teras partai politik, Jokowi yang diusung oleh PDIP tiba-tiba meroket di pentas politik nasional mengalahkan tokoh-tokoh politik yang sudah tinggi jam terbangnya. Dia sebagai ikon presiden produk reformasi menuju Indonesia setara. Bahwa siapapun anak bangsa berhak untuk menjadi presiden. Kemunculannya membawa angin segar dan energi baru untuk penguatan demokrasi. Agenda kerja yang menonjol adalah pembangunan infrastruktur dan jalan tol untuk melancarkan lalu-lintas ekonomi dan mobilitas penduduk. Salah satu warisan yang menonjol dan masih mengundang kontroversi adalah pemindahan ibukota negara ke IKN di Kalimantan Timur.

Kritik yang dialamatkan pada Jokowi oleh kalangan aktivis-intelektual dan pejuang demokrasi adalah tidak memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan demokrasi dan penegakan hukum. Setelah berhasil gemilang menaiki karir puncak politiknya sebagai presiden berkat jalan demokrasi, tangga demokrasi dan lembaga partai politik yang mengusungnya justeru dia lumpuhkan. Penempatan Gibran menjadi Wakil Presiden melalui palu MK telah memunculkan kritik tajam dari pakar hukum tata negara serta menghalangi tampilnya banyak calon lain yang sudah lama meniti karir politik. Menjadi catatan dan anomali sejarah, mengapa terjadi pemecatan oleh PDIP terhadap Jokowi dari keanggotaan parpol yang pernah mengusungnya sejak dari bawah sampai ke puncak karirnya.

Baca Juga: Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun dan Dukungan Muhammadiyah dalam Kehidupan Bernegara

Beban dan Peluang Prabowo

Prabowo yang memiliki pendidikan bagus dan jaringan pergaulan luas, sudah pasti bisa memetik pelajaran dari rekam jejak semua presiden sebelumnya. Dia memiliki pengalaman militer panjang dan rekam jejak sebagai Menteri serta pebisnis besar. Ayahnya, Soemitro

Djojohadikusumo, seorang ekonom dan intelektual terkemuka yang pernah menjabat Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian di era Sukarno dan Suharto. Dengan latar belakang keluarga, pendidikan, karir politik dan pendiri Partai Gerakan Indonesia Raya (2008) Prabowo diharap mampu mengembalikan peran dan wibawa Indonesia di mata dunia.

Menyimak beberapa pidatonya, mengingatkan saya pada konsep “ekonomi benteng” yang digagas lebih ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo, pada awal tahun 50-an. Konsep ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi ekonomi pribumi dalam menghadapi dominasi ekonomi pihak asing. Soemitro menekankan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Dia mendorong industrialisasi sebagai cara untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas nasional. Negara perlu berperan besar dalam membangun infrastruktur yang strategis, sembari mendukung mekanisme pasar dalam mendorong efisiensi, inovasi dan ketahanan ekonomi rakyat. Meskipun sebagai ekonom alumni Universitas Rotterdam yang sering dipandang sebagai pendukung ekonomi liberal, Soemitro memiliki pemihakan kuat pada rakyat bawah yang miskin dan tertindas.

Saat ini rakyat masih menduga-duga bercampur harap, langkah strategis apa yang akan dilakukan Presiden Prabowo ke depan. Seberapa besar pengaruh dan warisan bagasi Presiden Joko Widodo yang mesti dipikul oleh Prabowo? Adakah warisan itu merupakan faktor kekuatan ataukah malah jadi beban dan penghalang bagi Prabowo untuk menjadi dirinya sendiri, kita tunggu dan lihat sepak terjangnya ke depan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: