
PT PAM Metalindo Tbk (NICL) mencatatkan kinerja impresif sepanjang 2024 dengan membukukan penjualan sebesar Rp1,44 triliun, naik 26,37% dari Rp1,14 triliun pada tahun sebelumnya. Peningkatan ini dicapai meskipun permintaan nikel di Indonesia mengalami penurunan.
Perseroan berhasil meningkatkan volume penjualan dari 1.848.007,82 metrik ton (mt) pada 2023 menjadi 2.300.914,78 mt pada 2024. Efisiensi biaya produksi juga berkontribusi signifikan terhadap lonjakan laba kotor dari Rp136,66 miliar menjadi Rp517,26 miliar, atau meningkat 278,50% secara tahunan (year-on-year/YoY). Marjin laba kotor pun melonjak menjadi 35,86%, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 11,97%.
“Kendati kondisi industri nasional kurang menguntungkan, dengan harga acuan nikel domestik turun 9,19% sejak semester kedua 2024, perseroan tetap optimistis dan mampu mengatasi tantangan tersebut,” ujar Direktur Utama NICL, Ruddy Tjanaka, Jakarta, Selasa (25/3/2025).
Baca Juga: Bisnis Nikel Masih Sulit, Harita Nickel Siapkan Jurus Efisiensi
Pada 2024, NICL telah mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) periode 2024–2026 dengan total volume penjualan yang disetujui sebesar 7 juta wet metric ton (WMT). Perseroan mampu meningkatkan produksi sesuai dengan kapasitas RKAB sekaligus melakukan efisiensi biaya produksi.
Kinerja keuangan NICL juga menunjukkan pertumbuhan signifikan. Laba usaha meningkat drastis dari Rp45,16 miliar pada 2023 menjadi Rp414,10 miliar pada 2024, melesat 816,88%. Laba tahun berjalan naik tajam sebesar 1.074,71% menjadi Rp318,75 miliar, dibandingkan Rp27,13 miliar pada tahun sebelumnya. Efisiensi pada beban umum dan administrasi turut menjadi faktor utama di balik lonjakan laba tersebut.
NICL memiliki dua Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Sulawesi. Wilayah tambang di Desa Laroenai, Kecamatan Bungku Pesisir, Sulawesi Tengah, mencakup lahan seluas 198 hektare (ha), sementara tambang di Desa Lameruru, Kecamatan Langgikima, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, memiliki luas 576 ha dan dikelola oleh anak usaha PT Indrabakti Mustika (IBM).
Perseroan terus melakukan eksplorasi berkelanjutan dan menjaga prinsip konservasi cadangan mineral dengan mengoptimalkan pemanfaatan bijih nikel melalui diversifikasi produk berdasarkan kadar nikel. Bijih nikel diklasifikasikan menjadi low grade, middle grade, dan high grade. NICL juga memanfaatkan bijih kadar rendah dengan optimalisasi cutoff grade, sehingga bijih yang sebelumnya dianggap limbah kini dapat diolah dan dipasarkan.
Saat ini, sumber daya mineral di wilayah IUP NICL tercatat sebesar 12,77 juta ton dengan kadar nikel (Ni) 1,20%. Sementara itu, sumber daya di wilayah IUP IBM mencapai 74,49 juta ton dengan kadar Ni 1,10%.
Baca Juga: Pendapatan Pertamina Geothermal (PGEO) Naik Jadi US$407,12 Juta, tapi Laba Bersih Terkoreksi
Dari sisi neraca, total aset perseroan pada 2024 mencapai Rp1,05 triliun, meningkat 22,56% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp856,83 miliar. Rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio) hanya 19,58%, menandakan kondisi keuangan yang sehat. Perseroan juga tidak memiliki utang bank. Ekuitas perseroan meningkat dari Rp745,47 miliar menjadi Rp878,18 miliar, terutama didorong oleh pertumbuhan laba yang signifikan.
“Kami optimistis terhadap pencapaian pada 2024. Kami berhasil meningkatkan kinerja operasional dan keuangan tanpa adanya beban utang bank,” kata Ruddy.
Prospek industri nikel pada 2025 diprediksi semakin cerah, didorong oleh penutupan tambang nikel berbiaya tinggi di Australia, Filipina, dan beberapa negara Eropa yang akan mengurangi pasokan global. Selain itu, meningkatnya permintaan dari sektor kendaraan listrik dan baja nirkarat diharapkan mampu mengerek harga nikel dunia. Indonesia sebagai produsen nikel terbesar akan mendapat manfaat dari tren ini, terutama dengan adanya rencana hilirisasi industri nikel di beberapa negara.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement