Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Soal China Balas Tarif Trump, Gedung Putih: Kalau AS Dipukul, Dia akan Balas Lebih Keras

Soal China Balas Tarif Trump, Gedung Putih: Kalau AS Dipukul, Dia akan Balas Lebih Keras Kredit Foto: AP Photo/Andy Wong

Diketahui, pekan ini Trump mengumumkan penundaan tarif terhadap puluhan negara, namun secara bersamaan menaikkan tarif atas barang China menjadi 145%. Langkah ini memicu kekacauan di pasar global.

Saham AS memang berakhir naik, tetapi emas sebagai aset safe haven melonjak ke rekor tertinggi dan imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun mencetak kenaikan mingguan terbesar sejak 2001. Dolar AS sendiri melemah tajam, mencerminkan menurunnya kepercayaan pasar terhadap stabilitas ekonomi AS.

Survei konsumen menunjukkan kekhawatiran terhadap inflasi di AS meningkat ke level tertinggi sejak 1981, sementara lembaga keuangan mulai mewaspadai ancaman resesi. Pasar obligasi pemerintah senilai $29 triliun mengalami aksi jual besar-besaran usai Trump mengumumkan tarif timbal balik. 

Gedung Putih mencoba meredakan situasi dengan menyebut bahwa lebih dari 75 negara tengah menjajaki kesepakatan perdagangan baru dengan AS. Pemerintahan Trump menyatakan kesepakatan-kesepakatan masa depan akan membawa kepastian.

Baca Juga: Gelar Pertemuan Khusus Hadapi Tarif Impor Trump, Ini Kesepakatan ASEAN

Namun, para analis memperingatkan, tarif saling balas antara AS dan China bisa membuat perdagangan antara keduanya yang bernilai lebih dari $650 miliar pada 2024 menjadi tidak mungkin lagi.

Trump sendiri mengulangi argumennya bahwa tarif justru dibayar oleh eksportir asing dan bahwa AS punya hak penuh untuk mengenakan bea sesuai kebutuhan. “Kita bisa melakukan apa pun yang kita mau, tetapi kita harus bersikap adil. Kita bisa menetapkan tarif dan mereka bisa memilih untuk tidak berurusan dengan kita atau mereka bisa memilih untuk membayarnya,” ujarnya.

Namun, realita di lapangan menunjukkan dampaknya bisa mengalir hingga ke konsumen, karena biaya tambahan dari importir kerap dibebankan langsung kepada publik. Sementara UBS dalam analisanya menyebut pernyataan keras China sebagai pengakuan bahwa “Perdagangan antara kedua negara pada dasarnya telah terputus sepenuhnya.”

Hingga saat ini, dunia pun masih menantikan dinamika baru perang dagang antara dua kekuatan ekonomi global tersebut. 

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Belinda Safitri
Editor: Belinda Safitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: