
Pemerintah resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Salah satu pasalnya menuai protes keras dari dunia usaha karena mengatur larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Solihin, menyatakan dukungan terhadap kampanye perlindungan anak dari bahaya rokok, namun menyayangkan tidak adanya pelibatan pemangku kepentingan dalam perumusan aturan. “Tanda tanya besar bagi kami, sebagai Ketua Umum APRINDO maupun APINDO DKI, kami menyayangkan adanya PP tersebut tanpa melibatkan stakeholder, terutama APRINDO,” ujar Solihin di Jakarta, Senin (21/5/2025).
Solihin menambahkan, belum ada sosialisasi dari kementerian terkait, dan implementasi di lapangan berpotensi menimbulkan tebang pilih. Sejumlah ritel bahkan sudah didatangi aparat berseragam yang dikhawatirkan hanya mencari-cari kesalahan. APRINDO pun mempertimbangkan langkah judicial review untuk meninjau pasal bermasalah dalam PP tersebut.
Baca Juga: Peredaran Rokok Polos Gerus Penerimaan Negara, Begini Kata DPR
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah, juga menyoroti dampak kebijakan terhadap potensi maraknya rokok ilegal. “Jika rokok legal tidak ada dalam radius 200 meter dari sekolah, rokok ilegal bisa dijual dengan cara-cara ilegal,” tegasnya. Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan ini dapat menggerus penerimaan cukai negara, yang tahun 2024 tercatat sebesar Rp226,4 triliun.
Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (AKRINDO), Anang Zunaedi, menyebut aturan tersebut berpotensi menurunkan omzet ritel dan koperasi hingga 50 persen. Menurutnya, penjualan rokok berkontribusi hingga 40 persen terhadap omzet pelaku UMKM ritel, bahkan lebih di kelompok ultra mikro. Ia mencontohkan koperasi di lingkungan pondok pesantren dan pasar tradisional yang sudah berdiri sebelum keberadaan sarana pendidikan kini terancam tak bisa lagi menjual rokok.
Anang juga mengingatkan bahwa penerapan aturan tanpa sosialisasi matang bisa menimbulkan konflik sosial. “Di ranah paling bawah bisa timbul paksaan dan intimidasi, misalnya pedagang tidak boleh jualan, barangnya dirampas atau disegel. Apa tidak terjadi konflik dengan masyarakat?” ujarnya.
Baca Juga: Wakil Ketua Komisi VII DPR Sebut Penyeragaman Kemasan Rokok Ancam Ekonomi dan Kedaulatan Nasional
Kritik juga datang dari industri hulu. Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menilai kebijakan tersebut tidak sejalan dengan upaya Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen. “Rp200 triliun bukan nilai yang sedikit. Jika industri tembakau dihilangkan begitu saja, ekonomi juga akan turun,” tegas Benny.
Benny juga menekankan pentingnya industri tembakau bagi penyerapan tenaga kerja, dari petani hingga buruh. Menurutnya, Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara lain karena masih memiliki kebun dan industri tembakau yang besar. Ia mendukung penuh langkah judicial review demi memberi kepastian hukum bagi pedagang dan industri.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menilai kebijakan tersebut terlalu mengadopsi aturan global tanpa mempertimbangkan konteks lokal Indonesia. “Sejarah keberadaan budaya lokal kretek terancam hilang dari negara kita,” kritiknya.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan jika larangan ini diterapkan, 2,3 juta orang berpotensi kehilangan pekerjaan. Dampak dari larangan penjualan rokok di radius 200 meter akan memengaruhi 33,08 persen dari total ritel atau sekitar 734.799 pekerja. Kepala Center of Industry, Trade and Investment INDEF, Andry Satrio Nugroho, juga menyoroti potensi merosotnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengingat ritel kecil mendapat keuntungan hingga 30 persen dari penjualan rokok.
“Ritel-ritel di daerah ini kan bayar pajak dan retribusi. Jadi, jika kinerja ritel menurun, pajak dan retribusi yang diberikan kepada daerah juga pasti akan berkurang,” ujar Andry. Ia juga memperingatkan bahwa selain menurunkan PAD, kebijakan ini dapat memperkuat pasar rokok ilegal.
Dengan tekanan yang semakin besar terhadap industri tembakau dan potensi efek domino terhadap ekonomi daerah hingga nasional, pelaku usaha meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan agar tak kontraproduktif terhadap visi pertumbuhan ekonomi dan perlindungan sosial.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement