Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dianggap Memperburuk Stabilitas Ekonomi Pasca Tarif Trump, Kebijakan PP 28/2024 Dinilai Perlu Deregulasi

Dianggap Memperburuk Stabilitas Ekonomi Pasca Tarif Trump, Kebijakan PP 28/2024 Dinilai Perlu Deregulasi Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan pemerintah yang dinilai menekan industri hasil tembakau (IHT) memicu kekhawatiran meluasnya pemutusan hubungan kerja (PHK). Serikat pekerja mendesak agar pemerintah mempertimbangkan nasib pekerja di tengah kondisi ekonomi yang kian tidak stabil akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Jika terjadi PHK, pengangguran akan meningkat, kemiskinan naik, dan daya beli masyarakat menurun, yang pada akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ancaman ini semakin nyata dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang membatasi kandungan gula, garam, lemak (GGL) serta larangan zonasi penjualan dan Iklan rokok. Kementerian Kesehatan juga telah menyiapkan aturan turunan PP 28/2024 melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal , menegaskan bahwa aturan tersebut akan memukul dunia usaha dan ketenagakerjaan. Menurutnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) seharusnya mempertimbangkan dampak dari sisi ketenagakerjaan, tidak hanya fokus pada kesehatan. Kondisi ini memicu desakan deregulasi PP 28/2024 yang memuat pasal-pasal bermasalah.

"Bila industri rokok diatur dengan aturan Kemenkes yang ketat, produksi rokok akan menurun dan berujung pada PHK," ujarnya kepada media.

Ketidaksepakatan antara sisi kesehatan dan ketenagakerjaan hingga saat ini belum selesai. Said Iqbal menyatakan Kemenkes mendesak aturan untuk membatasi peredaran rokok tanpa mempertimbangkan dampak luas terhadap pekerja di industri hasil tembakau (IHT). “Harus ada solusi win-win, tidak bisa ego sektoral kesehatan mengabaikan ketenagakerjaan, begitu sebaliknya. Duduk bersama dan petakan,” tegasnya.

Said Iqbal menekankan bahwa penyusunan aturan ini tidak boleh hanya menggunakan sudut pandang kesehatan. Kemenkes perlu memastikan setiap aturan mempertimbangkan dampak terhadap banyak pihak, termasuk nasib para pekerja. 

"Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan harus membuat kesepakatan. Tidak pernah ada kesepakatan antara Kemenkes dan Kemenaker, padahal aturan Kemenkes bisa berujung pada PHK seperti pasal-pasal tembakau di PP 28/2024. Itu langkah pertama, duduk bersama," ungkapnya.

Selain itu, dia menilai Kemenkes perlu melibatkan pihak-pihak dalam industri, termasuk produsen rokok, dalam penyusunan kebijakan. Ini untuk mencari solusi tepat dalam mengimplementasikan aturan sehingga PHK dapat dihindari.

Dalam Sarasehan Ekonomi bersama Presiden RI Prabowo Subianto dan Kementerian/Lembaga terkait, Said Iqbal menyampaikan keresahannya terhadap ancaman PHK yang bisa mencapai 50 ribu buruh dalam tiga bulan ke depan. Ini merupakan fase kedua ancaman PHK massal dari gelombang pertama yang telah berdampak pada sekitar 60 ribu buruh/pekerja.

Said Iqbal mengingatkan pemerintah untuk bersikap adil dalam membuat kebijakan. Jangan sampai ada kesan menekan pihak yang mengikuti aturan dan menguntungkan pihak yang salah. Ia mencontohkan dampak dari kebijakan PP 28/2024 yang mendorong penyebaran rokok ilegal lebih luas.

Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Janoe Arijanto, melihat PP 28/2024 akan turut menghantam sektor periklanan. Dalam beberapa tahun, iklan rokok menyumbang pemasukan iklan cukup besar, sehingga menjadikannya dalam sepuluh besar pengiklan.

"Berkurangnya iklan rokok di banyak media tentu akan mengurangi pendapatan iklan," imbuhnya.

Kebijakan ini menjadi bentuk pengetatan aturan yang dilakukan pemerintah terhadap industri rokok yang juga berimbas pada sektor periklanan. "Kawan-kawan yang bergerak di iklan luar ruang (billboard dan baliho) merasakan dampaknya. Peraturan tentang larangan iklan rokok dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan misalnya, mengurangi jumlah titik billboard yang bisa digunakan untuk iklan rokok," paparnya.

Penjelasan terhadap sekolah atau instansi pendidikan tersebut juga masih diperdebatkan. Ia mempertanyakan status berbagai kursus dan bimbingan belajar yang termasuk dalam zona tersebut atau tidak. 

Definisi yang kabur itu menambah ketidakpastian pada persoalan teknis di lapangan. Bisa saja pasal pengaturan tembakau dalam PP 28/2024 diterjemahkan menjadi zona pendidikan non-formal yang tidak memungkinkan pemasangan billboard.

Padahal selama ini pelaku di sektor iklan luar ruangan telah menjalankan Etika Pariwara yang mengatur bagaimana beriklan secara etis dan memenuhi kaidah-kaidah peraturan yang ada. Namun, kebijakan yang dikeluarkan semakin ketat dan sangat perlu pelibatan dan dialog langsung dengan pelaku industri.

"Dengan cara seperti itu, pemerintah bisa mendengar perspektif dari berbagai pihak tentang bagaimana pengaturan tersebut bisa lebih relevan, baik dari sisi kesehatan masyarakat maupun dari sisi ekonomi," tutup Janoe.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: