Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bakteri Kuat Jadi Ancaman, Jurnalis Diharapkan Berperan Edukasi Publik soal Resistensi Antimikroba

Bakteri Kuat Jadi Ancaman, Jurnalis Diharapkan Berperan Edukasi Publik soal Resistensi Antimikroba Kredit Foto: Khairunnisak Lubis
Warta Ekonomi, Medan -

Ancaman resistensi antimikroba (AMR) kian nyata dan menjadi perhatian serius lintas sektor, termasuk dunia medis, pemerintah, serta masyarakat umum. Penyalahgunaan antibiotik yang marak terjadi menjadi penyebab utama munculnya bakteri kebal obat, yang dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan dan peningkatan angka kematian.

Isu ini menjadi fokus dalam pelatihan jurnalisme sains yang digelar baru-baru ini di Four Points Hotel, Medan. Pelatihan tersebut difasilitasi oleh World Organisation for Animal Health (WOAH) bersama Uni Eropa melalui Proyek Tripartit Regional AMR (kolaborasi antara FAO, WHO, dan WOAH), serta bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan. Tujuannya, meningkatkan kapasitas jurnalis dalam memahami dan mengomunikasikan bahaya AMR kepada publik.

Communication Officer ReAct Asia Pasifik, Vida A Parady, menekankan bahwa AMR terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, dan parasit menjadi kebal terhadap obat-obatan yang sebelumnya efektif. “Kondisi ini sangat membahayakan karena membuat pengobatan tidak lagi manjur. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat ada 133.800 kematian terkait AMR pada 2019. Lebih mengkhawatirkan lagi, 41 persen penggunaan antibiotik di Indonesia dilakukan tanpa resep dokter,” jelasnya belum lama ini.

Sementara itu, Guillaume Maltaverne dari WOAH menyebutkan bahwa komunikasi risiko adalah bagian krusial dalam strategi mitigasi AMR. “AMR adalah pandemi senyap. Jika tidak ditangani dengan serius, pada tahun 2050 jumlah kematian akibat AMR diperkirakan akan melebihi angka kematian akibat kanker,” tegasnya.

Baca Juga: Hasil Riset FMIPA UI: segel Le Minerale Terbukti 100 Persen Cegah Kontaminasi Debu, Bakteri, dan Jamur

Dalam sesi lainnya, Drh. Liys Desmayanti dari Direktorat Kesehatan Hewan mengungkapkan bahwa sektor peternakan juga menyumbang angka signifikan dalam penggunaan antimikroba, khususnya pada unggas dan ikan budidaya. Pemerintah, katanya, telah mengambil sejumlah langkah, seperti pelarangan penggunaan antibiotik sebagai growth promoter (AGP) dan colistin. Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) pun telah dirancang hingga 2029 dengan target penerapan sistem Antimicrobial Stewardship (AMS) di 70 persen peternakan unggas komersial.

Tingkat resistensi bakteri semakin meningkat

Dari sisi klinis, akademisi Dr. Harry Parathon menyatakan bahwa tingkat resistensi terhadap bakteri seperti E. coli dan Klebsiella pneumoniae semakin meningkat. “Konsekuensinya, pasien harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk pengobatan dan menghadapi risiko kematian yang lebih tinggi. Audit nasional bahkan menunjukkan bahwa 77 persen resep antibiotik di Indonesia tidak sesuai dengan pedoman,” ungkap Harry.

Selain aspek medis dan peternakan, pelatihan ini juga menyoroti temuan resistensi bakteri dari perspektif lingkungan. Surveilans air limbah menunjukkan keberadaan bakteri resisten seperti ESBL-producing E. coli dan CRPA. Peneliti bahkan menemukan strain bakteri yang sama dalam sampel klinis dan air sungai di sekitar rumah sakit, mengindikasikan potensi transmisi dari fasilitas layanan kesehatan ke lingkungan sekitar.

Melalui pelatihan ini, para jurnalis didorong untuk memainkan peran aktif dalam mengedukasi masyarakat mengenai bahaya AMR, pentingnya penggunaan antibiotik secara bijak, serta mendorong tata kelola kesehatan yang lebih bertanggung jawab dan berbasis data.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Khairunnisak Lubis
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: