Pakar Hukum Fahri Bachmid Beberkan Landasan Amnesti dan Abolisi Hak Konstitusional Presiden untuk Keutuhan Bangsa
Kredit Foto: Ist
Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) serta amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Menanggapi langkah ini, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H., menyampaikan pandangannya saat diwawancarai media di Jakarta.
Dr. Fahri Bachmid mengemukakan bahwa secara filosofis dan teoritis, keberadaan lembaga amnesti dan abolisi secara eksplisit dikonstruksikan oleh norma dalam UUD 1945 sebagaimana terdapat dalam Pasal 14 ayat (2). Amnesti berfungsi sebagai sarana pengampunan berupa penghapusan hukuman yang diberikan oleh presiden terhadap seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana. Namun, tidak semua tindak pidana berhak mendapatkan amnesti, terutama jika terkait kejahatan internasional atau pelanggaran HAM.
Baca Juga: Pakar Hukum Universitas Trisakti Kritik Regulasi Pemerintah Soal Peredaran Tembakau, Dinilai Cacat Konstitusi
Dalam pemberian amnesti, presiden harus mendasarkan keputusannya pada pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Dasar hukum amnesti juga tercantum dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Konsekuensi dikabulkannya amnesti adalah penghapusan segala akibat hukum pidana bagi terpidana.
Amnesti dapat diberikan oleh presiden tanpa perlu permohonan khusus dari terpidana. Dalam praktiknya, Sekretaris Negara akan mengusulkan daftar nama terpidana yang layak mendapat amnesti. Usulan ini kemudian ditinjau dan dikirim ke DPR untuk mendapatkan tanggapan. Jika DPR menilai pemberian amnesti tepat, presiden akan mengeluarkan perintah eksekutif terkait amnesti tersebut.
Hal serupa berlaku untuk abolisi, yaitu penghapusan hukuman terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, presiden memberikan abolisi dengan mempertimbangkan masukan DPR. Dasar hukum abolisi juga merujuk pada Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954.
Berbeda dengan amnesti, abolisi memiliki tiga syarat pengajuan:
-
Terpidana belum atau sudah menyerahkan diri kepada pihak berwajib.
-
Terpidana sedang atau telah menyelesaikan pembinaan.
-
Terpidana sedang dalam masa penahanan selama proses pemeriksaan, penyelidikan, atau penyidikan.
Fahri Bachmid menegaskan bahwa amnesti dan abolisi merupakan hak konstitusional presiden yang bertujuan menegakkan keadilan, memenuhi hak asasi manusia, serta memberikan pengampunan negara kepada warga yang melakukan kesalahan pidana.
Secara tradisional, kewenangan presiden memberikan pengampunan berakar dari sistem monarki Inggris, di mana raja sebagai sumber keadilan memiliki hak prerogatif untuk mengampuni warganya. Prinsip ini telah berkembang dengan dasar filosofis dan sosiologis yang kuat.
Menurut Fahri Bachmid, kebijakan Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto didasarkan pada kepentingan publik yang objektif, mencakup stabilitas nasional dan pencegahan perpecahan masyarakat. Presiden telah mempertimbangkan berbagai aspek signifikan terkait kepentingan negara yang lebih luas sebelum mengambil keputusan.
Fahri juga menyimpulkan bahwa kebijakan ini telah melalui prosedur ketatanegaraan yang konstitusional, melibatkan DPR sebagai bentuk check and balance. Amnesti dan abolisi sebagai legal declaration memastikan presiden memperhatikan pertimbangan DPR (council considerations).
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, penggunaan amnesti dan abolisi telah efektif sejak era Orde Lama hingga sekarang. Instrumen ini berfungsi sebagai alat politik dan hukum untuk mengelola konflik serta mengoreksi ketidakadilan. Beberapa momen penting termasuk:
-
1959 – Keppres No. 303: Amnesti dan abolisi untuk pengikut DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
-
1961 – Keppres No. 449: Pengampunan untuk pelaku pemberontakan Daud Bereuh di Aceh.
-
1964 – Keppres No. 2: Abolisi terhadap tokoh separatis RMS (Republik Maluku Selatan).
-
1977 – Keppres No. 63: Abolisi bagi ribuan pengikut Fretilin di Timor Timur.
-
1998 – Keppres No. 80 dan 123: Amnesti dan abolisi untuk aktivis politik seperti Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas.
-
1999 – Keppres No. 159: Amnesti bagi Budiman Sudjatmiko dan aktivis penentang Orde Baru.
-
2000 – Keppres No. 91 dan 93: Abolisi untuk tokoh Papua dan kasus penyimpangan kepercayaan.
-
2005 – Keppres No. 22: Amnesti dan abolisi terhadap 1.200 orang terkait Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam perjanjian damai Helsinki.
-
2019 – Keppres No. 24: Amnesti untuk Baiq Nuril, korban kriminalisasi UU ITE, sebagai amnesti pertama untuk kasus non-politik.
Demikian penjelasan Dr. Fahri Bachmid.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement