Gelar Diskusi Soal Dinamika Demokrasi dalam Negeri, Forum Warga Negara: Jangan Lewatkan Momentum Berbenah
Kredit Foto: Istimewa
Forum Warga Negara untuk kedua kalinya menyelenggarakan diskusi publik. Kegiatan ini berjalan pada Kamis sore (4/9) di Jakarta, dengan mengangkat tema “Indonesiaku: Apa Kata Dunia!”.
Sejumlah warga negara yang membayar pajak saling mendekat, lalu berkumpul, untuk menyampaikan persepsi dunia internasional mengenai situasi terkini di Indonesia. Mereka juga bertukar cerita tentang isu-isu strategis geopolitik maupun geoekonomi, implikasi yang perlu disadari, serta berbagi pandangan mengenai langkah yang sepatutnya diambil. Bagi para diaspora, forum ini juga menjadi sarana penuangan perasaan batin terhadap keadaan Tanah Air saat ini serta penyaluran harapan akan perbaikan ke depannya.
Narasumber yang hadir secara luring ialah Shofwan Al Banna Choiruzzad, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Sementara narasumber daring adalah Anthony Paulo Sunjaya (dosen senior di School of Population Health, Fakultas Kedokteran, UNSW Sydney) serta sejumlah diaspora lainnya. Diskusi dipandu oleh Chandra Marta Hamzah, komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi pada periode 2007–2011.
Anthony beserta sejumlah diaspora di Australia menyatakan keprihatinan mendalam terhadap kondisi Tanah Air. Ia menekankan pentingnya mengambil langkah-langkah cepat guna menjawab ketidakpuasan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri, terhadap kualitas Pengurus Negara dalam menjalankan tugasnya mengurus negara.
Anthony dkk mendesak, antara lain, bentuk tim pencari fakta independen untuk menginvestigasi pelanggaran dan pelanggar hak asasi manusia yang terjadi di lapangan. Tindak tegas yang bersalah. Jauhi pendekatan militerisasi berikut intervensi yang terlalu dalam/jauh aparaturnya dalam menangani keamanan, apalagi sampai ke arah Darurat Sipil. “Di atas itu semua, yang jauh lebih penting adalah, reaksinya jangan hanya bersifat reaktif, tapi harus substansial, menyentuh akar masalah,” tegasnya.
Kebanyakan diaspora menyampaikan frustasi karena momentum yang seharusnya bagus sekali diambil oleh pengurus negara untuk berbenah, tak kunjung diambil. Di Canberra, Australia, muncul gerakan “Canberra Bergerak”. Juga di Jepang dan lain-lain. Keprihatinan tinggi ditujukan pada semakin tertutupnya ruang demokrasi. Demokrasi yang berjalan saat ini semata dari elite untuk elite.
Baca Juga: Layanan Perbankan Stabil di Tengah Aksi Demonstrasi, OJK: Dampaknya Minim
“Masak rakyat harus ada yang mati terlebih dulu agar didengar? Maka, teruslah berisik agar didengar!” seru Mahasiswi S3 Australian National University, Avina Nadhila.
Shofwan menjelaskan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam negeri tidak terlepas dari dinamika luar negeri. Saling mempengaruhi. Peristiwa domestik ditangkap oleh, dan mempengaruhi, dunia internasional. Begitu pula sebaliknya. Pemandangan dalam negeri kita hari-hari ini, ungkap Shofwan, jika diringkas, adalah pemandangan meningkatnya uncertainty (ketidakpastian) dari berbagai pihak dan anjloknya trust (kepercayaan) rakyat terhadap kinerja pengurus negara.
“Pelemahan institusi menyebabkan disfungsi mekanisme demokrasi. Disfungsi mekanisme demokrasi membuat suara rakyat jadi tidak lagi relevan. Alhasil, setiap muncul kekecewaan atau ketidakpuasan rakyat, alih-alih tidak punya kecakapan menanggapi, eh, malah dijogetin,” ujar peneliti rumpun ilmu sosial-humaniora dengan dampak riset terbaik pada Dies Natalis ke-74 Universitas Indonesia itu.
Hadir dalam diskusi itu antara lain Halida Nuriah Hatta (putri bungsu Proklamator Mohammad Hatta) dan wartawan senior Budiman Tanuredjo.
Disfungsi instrumen demokrasi sangat menarik perhatian Budiman. Seturut amatannya, baik di unjuk rasa 25 maupun 28 Agustus 2025, hampir semua aparatus demokrasi kita (partai politik, organisasi massa, dll) berdiam diri. Selama 36 jam terakhir, yakni 28 hingga 30 Agustus, terasa sekali elite bingung bagaimana harus bersikap/memutuskan. Padahal, melalui teknologi informasi mutakhir, semua kejadian itu lebih mudah diakses dan dipantau dibanding era-era sebelumnya.
Yang lebih mendesak, imbuh Budiman, semua tuntutan yang muncul “17+8”, Gerakan Nurani Bangsa, Change.org, Forum Warga Negara, dsb harus bisa dikonsolidasi serapi mungkin. Penyelesaiannya tidak boleh sporadis, melainkan harus mengutamakan dan menyentuh akar masalah.
Bambang menyodorkan solusi struktural, “Perlu dibentuk tim atau semacam ‘komite reformasi’ independen. Isinya adalah orang-orang yang integritasnya bereputasi tinggi agar punya otoritas kuat dalam mengawal semua tuntutan, mereformasi semua lini pengurus negara, sambil juga mengerjakan semacam tim pencari fakta.”
Kata Shofwan, jika momentum ini dilewatkan begitu saja, alias tidak ditangkap sebagai wake up call untuk secara struktural-sistematis melakukan perbaikan institusional serta problem-problem mendasar berbangsa-bernegara, maka kita akan rugi serugi-ruginya. “Selain rugi,” imbuh Shofwan, “kita jadi lebih rentan terimbas guncangan-guncangan internasional yang pasti akan terjadi, kita jadi minim daya tahan kolektif.”
Baca Juga: Boni Hargens Ingatkan Publik Waspada Provokasi Adu Domba Rakyat dengan Aparat
Menutup diskusi, Chandra menekankan pentingnya semua entitas pengurus negara (legislatif-yudikatif-eksekutif) lekas membenahi diri agar semakin cakap, profesional, dan berintegritas. Perlunya, supaya solusi-solusi yang ditempuhnya bukan solusi-solusi gimmick semata. “Cukup sudah yang kayak begitu. Mari koreksi total,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement