Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Pembangunan kereta cepat dinilai menjadi simbol personalisasi kekuasaan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Rektor Universitas Paramadina sekaligus Founder INDEF, Didik J. Rachbini, menilai proyek tersebut bukan sekadar infrastruktur transportasi, melainkan refleksi dari gaya kepemimpinan yang cenderung terpusat pada figur tunggal.
Dalam webinar bertajuk “Pelajaran Ekonomi Politik dan Warisan Kebijakan Jokowi: Bagaimana Membayar Utang Kereta Cepat”, Didik menjelaskan bahwa kebijakan publik di bawah pemerintahan Jokowi kerap diarahkan menjadi bagian dari legacy pribadi.
Baca Juga: Industri Gym Nasional Dinilai Masih Minim, Precision Buka Arah Investasi Baru
Ia menyebut hal ini serupa dengan pola kekuasaan masa lalu di Jawa yang bersifat sentralistik dan bertumpu pada figur pemimpin tunggal.
“Dalam kultur kekuasaan Jawa, kebijakan publik sering digiring menjadi personal, dan itu terjadi di masa Orde Baru serta berlanjut di masa Jokowi,” ujar Didik, dikutip Minggu (26/10/2025).
“Kereta cepat Whoosh adalah turunan dari kultur politik, itu sebuah refleksi personal dirinya (Jokowi) sendiri,” lanjutnya.
Menurut Didik, proyek kereta cepat dan Ibu Kota Nusantara (IKN) menunjukkan bagaimana kebijakan publik diarahkan sebagai warisan simbolik yang menegaskan dominasi kepemimpinan Jokowi.
Ia menilai hal tersebut berbahaya bagi sistem demokrasi yang seharusnya mengedepankan keseimbangan kekuasaan (check and balance).
“Demokrasi itu harus mendengarkan publik. Namun, sekarang instrumen kekuasaan digunakan untuk mengatur narasi publik, baik lewat media maupun media sosial,” ucapnya.
Ia menyinggung penggunaan media dan aparat negara sebagai alat politik yang memperkuat citra pemimpin tunggal, mirip dengan praktik propaganda digital di luar negeri.
Didik juga menilai, tren politik di era Jokowi menunjukkan kemunduran dalam demokrasi Indonesia. Ia menyebut bahwa pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, ruang oposisi melemah, sementara lembaga legislatif seperti DPR justru cenderung mengikuti kehendak eksekutif.
“Ketika DPR ikut, check and balance hilang. Demokrasi itu dicekik pelan-pelan, tapi dengan senyum,” tegasnya.
Meski demikian, Didik menilai faktor sosial politik Indonesia yang masih demokratis seperti adanya tokoh penyeimbang, menjadi penahan agar kekuasaan tidak sepenuhnya jatuh ke pola monarki modern.
Ia juga menyinggung keputusan Megawati Soekarnoputri yang menolak wacana periode ketiga Jokowi sebagai langkah penting menjaga sistem politik tetap berimbang.
“Kalau waktu itu Megawati setuju periode ketiga, mungkin publikasi dan demokrasi kita akan semakin kering,” kata Didik.
Ia menutup pandangannya dengan menekankan pentingnya mengembalikan kebijakan publik ke arah rasionalitas demokratis, bukan personalisasi kekuasaan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Tag Terkait:
Advertisement